Makalah Landasan Ajaran Agama Islam - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Jumat, 18 September 2015

Makalah Landasan Ajaran Agama Islam




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Metodelogi Syariat Islam adalah bidang ilmu yang mempelajari syariat islam dari berbagai sisi penglihatan dan berguna untuk mencegah adanya kekeliruan dalam beragama atau ajaran-ajaran sesat dan lain sebagainya. Diantara berbagai macam permasalahan dalam beraagama yang timbul di abad ke-20 ini, kurangnya pemahaman kepada sumber ajaran islam adalah salah satunya. Oleh karena itu salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah, dengan mengkaji kembali apa saja yang menjadi sumber ajaran agama islam.


1.2  Rumusan Masalah
Penulis akan membahas beberapa masalah didalam makalah ini, yaitu:
1.      Apa itu Al-Qura’an sebagai sumber ajaran isalam ?
2.      Apa itu Al-Sunnah sebagai sumber ajaran isalam ?
3.      Apa itu Ijmak sebagai sumber ajaran isalam ?
4.      Apa itu Qiyas sebagai sumber ajaran islam ?

1.3  Tujuan Penulisan
Penulis menulis makalah ini dengan tujuan untuk:
1.      Agar kita semua dapat memahami sumber ajaran islam.
2.      Agar kita semua dapat terhindar dari ajaran-ajaran sesat yang berkembang di sekitar kita.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Al-Qura’an Sebagai Sumber Ajaran Islam
1.      Pengertian Etimologi
Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Quran, berikut pendapat beberapa ulama tentang penjelasan kata Al-Quran.
a.       Menurut pendapat Al-Lihyani, Al-Quran itu sendiri berasal dari kata “qara’a” (membaca). Kata ini kemudian dijadikan sebagai nama dari firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penamaan ini masuk kedalam kategori “tasmiyah al-maf’ul bil al-masdar”(penamaan isim maf’ul dengan isim masdar). Dan mereka merujuk kepada firman Allah SWT pada surah Al-Qiyamah ayat 17-18.[1]
b.      Menurut pendapat Al-Zujaj, kata Al-Quran merupakan kata sifat yang berasal dari kata dasar “al-qar” yang artinya menghimpunan. Kata sifat ini kemudian menjadi dijadikan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena AL-Quran menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, dan larangan. Atau karena Al-Quran menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.[2]
Ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkan kata Al-Quran dengan tidak menggunakan hamzah terbagi menjadi dua kelompok:
a. Al-Asy’ari mengatakan bahwa kata Al-Quran diambil dari kata kerja “qarana” yang artinya (menyertakan) karena ALQuran menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf
b.   Al-Farra’ menjelaskan bahwa kata Al-Quran diambil dari kata dasar “qara’in” (penguat) karena Al-Quran terdiri dari ayat-ayat yang saling mengatkan dan terdapat kemiripan antara satu ayat dan ayat-ayat lainnya.[3]
2.      Pengertian Terminologi
Pengertian AL-Quran secara istilah menurut para ulama adalah:
a.       Menurut Manna’ Al-Qhathan, Al-Quran itu adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nab Muhammad SAW. Dan membacanya memperoleh pahala.
b.      Menurut Al-jutrjani, Al-Quran itu adalah, apa yang ditrunkan kepada Rasulullah SAW, yang ditulis di dalam mushaf dan yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan tentang kebenarannya.
c.       Menurut Abu Syahbah, Al-Quran itu adalah, Kitab yang diturunkan bak lafazh maupun maknanya, kepada Nabi terakhir, Muhammad SAW, yang diriwayatkan secara mtawatir, yakni dengan penuh kepstian dan keyakinan akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai akhir surah An-Nas.
d.      Menurut Kalangan Pakar Ushul Fiqh, Fiqh Dan Bahasa Arab
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surah Al-Fatihah samapai akhir surah An-Nas.

Dari beberapa pendapat para ulama diatas kita dapat mengetahui bahwa Al-Quran adalah kiab suci yang isinya mengandung firman Allah, turunnya secara bertahap melalui malaikat jibril, pembawanya Nabi Muhammad SAW, susunannya dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas, bagi yang membacanya bernilai ibadah, fungsinya antara lain menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad SAW, keberadaannya hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik, dan pemasyarakatannnya dilakukan secara berantai dari satu generasi ke generasi yang lain dengan tulisan maupun lisan.
Sebagai sumber ajaran islam yang utama Al-Quran diyakini berasal dari Allah SWT dan mutlak benar. Selanjutnya Al-Quran juga berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya, ketika umat islam berselisih dalam segala urusannya hendaknya dia berhakim kepada AL-Quran. Al-Quran lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi terhadap perjalanan hidup manusia dimasa lalu.
B.     Al-Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam
1.      Pengertian Al-Sunnah
Sunnah berasal dari bahasa Arab “Sunnah”. Yang secara etimologis berarti: cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Sunnah juga sering disebut dengan cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW, atau suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh semua orang. Lawan dari kata Sunnah adalah bid’ah, yaitu amaliah yang diadaadakan dalam urusan agama yang belum pernah dilakukan oleh Nabi.
Sunnah dalam istilah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam ucapan, perbatan maupun pengakuan dan sifat Nabi.
Selain kata Al-Sunnah yang pengertiannya sebagaimana disebutkan diatas, kita juga menjumpai kata Al-Hadis, Al-Khabar, Al-Atsar. Oleh sebagian ulama kata-kata tersebut disamakan artinya dengan Al-Sunnah, dan oleh sebagian ulama lainnya, kata kata tersebut dibedakan artinya. Menurut sebagian ulama yang disebut belakangan ini Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dibiasakan oleh nabi Muhammad SAW, sehingga sesuatu itu lebih banyak dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW dari pada ditinggalkan. Sementara itu hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan namun jarang dikerjakan Oleh Nabi. Selanjutnya khabar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari sahabat, dan atsar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari para tabi’in. Sementara itu jumhur ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengertikan Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan belian yang berkaitan dengan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran islam kedua, setelah Al-Quran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan AL-Quran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Al-Quran 1) yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian, 2) yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian, 3) yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan, 4) isyarat Al-Quran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut, bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak di jumpai keterangannya di dalam Al-Quran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi. Selain itu ada pula yang sudah djelaskan dalam Al-Quran, tapi hadis datang pula memberikan keterangan, sehingga masalah tersebut menjadi kuat.
Dalam kaitan ini, hadis berfungsi memerinci petunjuk dan isyarat Al-Quaran yang bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat Al-Quran yang bersifat umum, sebagai pembatas terhadap ayat Al-Quran yang bersifat mutlak, dan sebagai pemberi informasi terhadap sesuatu kasus yang tidak dijumpai di dalam Al-Quran.dengan posisinya yang demikian itu, maka pemahaman Al-Quran dan juga pemahaman ajaran islam yang seutuhnya tidak dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan hadis.[4]
C.    Ijmak Sebagai Sumber Ajaran Islam
1.      Pengertian Ijmak
Secara bahasa ijmak memiliki dua arti, diantaranya:
a.       Ijmak dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan melakukan sesuatu. Ijmak dalam pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus : 71, juga dapat dilihat dalam hadis Nabi yang artinya “tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak malam.
b.      Ijmak dengan arti sepakat, ijmak dalam arti in dapat dilihat dalam surat Yusuf: 15
Pengertian ijmak secara istilah teknis hukum atau istilah syar’I terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan tu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijmak sebagai berikut:
a.       Al-Ghazali merumuskan ijmak sebagai kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.
b.      Al-Amidi yang juga pegikut syafi’iah merumuskan ijmak adalah kesepakatan sejumlah ahlul halli wal ‘aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
2.      Kedudukan Ijmak Sebagai Dalil Hukum
Sebagai sumber hukum ketiga, ijmak juga dapat menetapkan hukum yang mengikat da wajib di patuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Quran maupun Sunnah.
3.      Persyaratan Ijmak.
a)      Kuantitas anggota ijmak
b)      Berlalunya masa
c)      Sandaran ijmak






4.      Qiyas Sebagai Sumber Ajaran Islam
1.      Pengertian Qiyas
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash Al-Quran dan Sunnah tidal menetapkan hukumya secara jelas. Secara bahasa Qiyas artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya. Secara istilah, pengertian Qiyas menurut para ulama adalah,
a.       Menrut pendapat Al-Ghazali, qiyas adalah, menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduannya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara kedanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
b.      Menurut Qadhi Abu BAkar, qiyas itu adalah, menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.
c.       Menurut Shadru Al-Syariah merentangkan (menjangkaukan) hukum dari “ashal” kepada “furu’” karena ada kesatuan ‘illat ynag tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughawi semata.
d.      Menurut Ibnu Al-Hummam, samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat hukumnya. Baginya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebahasaan.
e.       Menurut Abu Zahrah, qiyas itu adalah, menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum.
2.      Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil Hukum
Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk mentetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid mentapkan hukum syara’ diluar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara’. 
Dalam hal penerimaaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’, Muhammad Abu Zahrah membagi 3 kelompok, yaitu:
a.       Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash Al-Qran atau Sunnah dan dalam ijmak ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
b.      Kelompok ulama zahiriah dan syiah imamiah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak zahiriya juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya secara hukum syara’.
c.       Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘illat diantara keduanya, terkadang member kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehngga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagai ayat Al-Quran atau Sunnah.




3.      Persyaratan Qiyas
a.       Maqis alaih
Maqis adalah adalah tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya
b.      Maqis
Maqis adalah sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal
c.       Hukum ashal
Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, dan hukum itu pula akan diberlakukan pada furu’
d.      ‘illat
‘illat adalah suatu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang terpenting, karena adanya ‘illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain.






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah di sebutkan dapat disimpulkan bahwa sumber sumber ajaran islam yaitu:
Al Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril diturunkan secara mutawatir mengandung mukjizat setiap suratnya dan berpahala bagi yang mebacanya. Sunnah adalah jalan yang di tempuh oleh rasulullah dan para sahabatnya, baik ilmu, keyakinan, ucapan, perbuatan, maupun penetapan. Ijmak adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al quran dan  As sunnah atau Al hadist dengan hal (lain) yang hukum nya disebut dalam Al quran dan As sunnah karena persamaaan illat.
B.     Saran
            Kajian tentang makalah Sumber-sumber ajaran islam ini akan menambahkan pengetahuam dan wawasan kita terhadap Sumber ajaran islam. Hal ini sangat penting agar dapat memahami sumber-sumber ajaran islam itu sendiri, untuk menghindari umat islam dari berbagai ajaran sesat yang sudah berkembang sekarang. Semoga dengan membaca makalah ini dapat menambahkan pemahaman kita terhadap sumber-semuber ajaran agama kita sendiri.


Daftar Pustaka
Nata Abudin, Metodelogi Studi Islam, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2013
Suparta Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2010
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh, Jakarta, Pernada Media Group, 2009





[1] Roihon Anwar, Ulumul Al-Quran, Bandung, hlm 31
[2] Roihon Anwar, Ulumul Al-Quran, Bandung, hlm 32
[3] Roihon Anwar, Ulumul Al-Quran, Bandung, hlm 32
[4] Abudin Nata, Metodelogi Studi Islam, Jakarta hlm 72-76

Post Top Ad

Your Ad Spot