MAKALAH DAMPAK-DAMPAK YANG TERJADI AKIBAT PUTUSNYA IKATAN PERKAWINAN - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Minggu, 25 Oktober 2015

MAKALAH DAMPAK-DAMPAK YANG TERJADI AKIBAT PUTUSNYA IKATAN PERKAWINAN

069


A.     Pengertian Batalnya Perkawinan
Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan tehadap suatu amalan seseorang. Karena tidak memenuhi syarat dan rukunnyanya yang telah ditetapkan oleh syarak. Itu, dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum, batalnya perkawinan adalah “rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama.”
Contoh perkawinan yang batal(tidak sah), yaitu perkawinan yang dilangsungkan tanpa calon mempelai laki-laki atau calon mempelai perempuan. Perkawinan semacam ini batal (tidak sah), karena tidak terpenuhi salah satu rukunnya, yaitu tanpa calon mempelai laki-laki atau tanpa calon mempelai perempuan.
Contoh lain, perkawinan yang saksinya orang gila, atau perkawinan yang walinya bukan muslim atau masih kanak-kanak, atau saudara kandung perempuan.Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Fasakh artinya putus atau batal. [1]

B.     Akibat Hukum Fasakh
Kata fasakh nikah adalah pembatalan perkawinan oleh istri karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakut yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat memberi belanja/nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya.[2] Maksud dengan fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami istri.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan pekawinan.
1.      Fasakh (batalnya perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a.       Setelah akad nikah, ternayata diketahui bahwa istrinya, adalah saudara kandung atau saudara sesusunan pihak suami.
b.      Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya, kemudian setelah dewasa, ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.

2.      Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad
a.       Bila salah seorang dari suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b.      Jika suami, yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akdnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri adalah ahli kitab. Maka, akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah.[3]
Selain hal-hal tersebut ada juga hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut :
1.      Karena ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda :
عن كعب بن زيد رضى الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوج امرأة من بني غفا ر فلما دخل عليها فوضع ثوبه ووقعد عل الفراس ابصر بكشحها بياضا فانحا زعنالفراش ثم قا ل خذ ى عليك ثيا بك ولم يأ خذ مماانا هاشيأ . (رواه احمد والبيحقى
“dari Ka’ab bin Zaid r.a bahwasannya Rasulullah saw. Pernah menikahi seorang perempuan Bani Gifa. Maka, tatkala bagaimana akan bersetubuh dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas pelaminan, terlihatlah putih (balak) di lambungnya, lalu beliau berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata: ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR Ahmad dan Baihaqi)[4]
2.      Karena gila
3.      Karena penyakit kusta
Berkenaan dengan hal itu, Umar berkata :
“Dari Umar r.a. berkata: Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, yang pada perempuan itu terdapat tanda-tanda gila atau berpenyakit kusta, lalu disetubuhinya perempuan itu, maka ia berhak mendapatkan maharnya dengan penuh. Dengan demikian, suami berhak menagih kepada walinya.”(HR Malik dan Syafi’i)
4.       Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, dan lain sebagainya.
Dijelaskan dalam suatu riwayat.
“dari Sa’id bin Musayyab r.a. ia berkata : “Barangsiapa diantara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki itu tanda-tanda gila, atau tanda-tanda yang membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap(dalam perkawinannya) dan jika ia berkehendak cerai maka si perempuan itu boleh bercerai.”(HR Malik)
5.      Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh)
Dari Ali r.a berkata: “laki-laki mana saja yang menikahi seorang wanita dan ia telah menggauli wanita itu dengan mendapati wanita tersebut berpenyakit balak, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya karena ia telah digauli. Bagi si suami berhak menuntut kepada orang yang telah menipunya. Dan jika si suami mendapati istrinya terkena qara(daging yang menyumbat lubang kemaluan) suami boleh memilih: jika ia telah menggauli istrinya itu, istri berhak mendapatkan maharnya atas pengahalang kemaluan istrinya itu.” (HR Said bin Mansur)




C.     Akibat Thalaq
Pisahnya suami istri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika suami mentalak istrinya dengan talak raj’i lalu rujuk lagi diwaktu idahnya, atau akad lagi sehabis idahnya dengan akad baru, maka perbuatannya dihitung satu kali talak dan ia masih ada kesempatan suami istri karena fasakh, maka hal itu tidak berarti mengurangi sisa talak istri karena fasakh, apabila terjasdinya fasakh karena khiyar balig, kemudian kedua orang istri tersebut kawin dengan akad baru lagi, maka suami tetap punya kesempatan tiga kali talak.
Golongan hanafi ingin membuat rumusan umum guna membedakan pengertian pisahnya suami istri sebab talak dan sebab fasakh. Kata mereka “Pisahnya suami istri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak. Dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami, atau karena suami, tapi dengan pengaruh istri disebut fasakh.”
D.     Akibat Khulu’
Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian, karena istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri. Allah SWT berfirman, “Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka”. (Al-Baqarah:187). Para pakar fiqh memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan istrinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga fidya atau if fah (tebusan).
Dasar-dasar Khuluk
Syari’at khuluk didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi :
“tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kamu keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hokum-hukkum Allah. Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di berikan istri untuk menebus dirinya. Itulah hokum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hokum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Kemudian Hadits Rasul “Dari ibnu Abbas r.a “Bahwa Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikankepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit punmenceraikannya” (HR Al-Bukhari)
Begitu juga telah terjadi Kesepakatan Ulama (ijma,Ulama) pada masalah tersebut, sebagaimana di nukilkan Ibnu Qodhomah, ibu Taimiyah, Ibnu Hajar, Asy-Syaukani, dan syeikh Abdullah al-bassam, Muhammad Bin Ali. Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma’ tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang persyariatan Khuluk. 


A.     Hukum Khuluk
                        Para ulama fiqh melakukan klasifikasi mengenai hukum Khuluk sebagai berikut :
 
·         Makruh
Ini merupakan hokum asal khuluk dimana suami membenci istrinya karena buruk akhlaknya dan ia berupaya agar istri menggugat cerai melalui khuluk, maka menurut para ulama makruh bagi suami menuntut tebusan dari istri.
·         Mubah
Bahwa perceraian melalui jalan khuluk oleh isri di bolehkan tidak dikenai dosa bagi pelakunya. Dengan ketentuan bahwa istri sangat membenci suaminya, dan dikhawatirkan istri tidak dapat menunaikan hak suaminya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT.
·         Haram
Hal ini dapat terjadi dari dua pihak. Pertama dari pihak pihak suami, dimana suami sengaja menyusahkan istri dan tidak mau berkomunikasi dengan istri, sengaja tidak memberikan hak-hak istri, dengan tujuan agar istri merasa tertekan seolah seperti di terror yang akhirnya istri tidak tahan dan menggugat suami melalui tebusan/iwadh. Dan apabila suami menceraikan istri, maka suami tidak berhak mengambil tersebut. Kecuali istri melakukan perbuatan keji seperti berzina atau melakukan perbuatan maksiat maka suami daoat membuat suatu kondisi yang menyusahkan istri agar membayar tebusan melalui jalan khuluk. Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 12 yang berbunyi : janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.
·         Sunnat
Apabila suami berlaku Mufarrith(meremehkan) hak-hak Allah, seperti suami meremehkan shalat, puasa dan meremehkan ajaran-ajaran agama, maka disunnahkan istri menggugat istri menggugat cerai suami melalui jalan khuluk.
·         Wajib
Dimana suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat mempengaruhi aqidah istri keluar dari islam. Sementara istri tidak mampu membuktikan perbuatan suami tersebut di depan pengadilan. Atau istri mampu membuktikan keyakinan dan perbuatan suami di atas tetapi pengadilan belum memvonis suami murtad sehingga tidak bisa bercerai, maka dalam keadaan demikian wajib bagi istri menggugat melalui jalan khuluk, karena seorang muslimah tidak selaknya menjadi istri dari suami yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur.

B.     Rukun Dan Syarat Khuluk
Menurut ulama fiqh khusus Syafiyyah menjelaskan rukun khuluk itu ada lima perkara:
(1). Al-Mujib (2) Al-Qabil (3) Mua’wad(4) ‘Iwadh (5) Shighah
Pertama, Al-Mujib (Suami)
     Yang dimaksud dengan Al-Mujib ialah pernyataan khuluk dari suami misalnya :”aku ceraikan engkau atau aku mengkhuluk engkau dengan uang Rp. Satu Juta Rupiah”. Ataupun suami menjawab pertanyaan istri, misalnya istri berkata :”Ceraikan aku dengan Satu Juta Rupiah”. Lalu suami menjawab “Aku ceraikan engkau dengan satu juta rupiah’. Dan syarat dari almujib hendaklah seorang suami itu yang baligh berakal dan mampu membuat pilihan (tidak dipaksa). Dengan demikian maka tidak sah khuluk seorang kanak-kanak, orang gila dan orang yang dipaksa. Adapun orang yang muflis dan safih (orang yang tidak boleh membuat keputusan sendiri dengan baik mengenai hartanya) maka khuluk dari keduanya ini adalah sah.
     Oleh itu wajiblah istri membayar bayaran ganti, dan mestilah diserahkan bayaran ganti itu kepada wali bagi suami yang safih. Adalah tidak harus diserahkan bayaran ganti tersebut kepada suami yang safih, karena ditakuti ia tidak dapat mengurus harta tersebut kecuali setelah mendapat izin dari walinya, maka bolehlah diserahkan bayaran ganti itu kepada suami yang safih tersebut.

Kedua, Al-Mukhtali/Istri
      
     Adapun sebagai syarat dari Istri mesti seorang yang mukallaf, bila istri masih kanak-kanak atau masih mumayyiz maka khuluk tidak sah. Begitu juga istri dalam keadaan gila, dalam pengampuan (tidak cakap bertindak secara hukum) maka tidak sah khuluknya.

Ketiga : Al- Mua’wad /Tebusan

     Al-Mua’wad ialah tebusan yang diberikan istri kepada suami sebagai iwadh. Yang dimaksudkan di sini ialah hak suami
atas isteri dalam perkawinan, di mana seorang isteri itu adalah di bawah kuasa suaminya. Jika berlaku khuluk wajiblah bagi isteri membayar bayaran ganti kepada suaminya untuk menebus hak suami itu dalam perkawinan karena khuluk itu adalah atas kehendak isteri. Adapun sebagai syaratnya bahwa tebusan diberikan dalam keadaan suami istri masih terikat tali perkawinan. 

Rukun Keempat : Al-‘Iwadh

     Al-‘iwadh ialah bayaran ganti yang diambil oleh suami dari isterinya sebagai tebusannya dalam menuntut khulu’. Apakah dalam bentuk mahar yang diberikan oleh suami semasa pernikahan seperti Kasus Tsabit Bin Qois, sebagaimana hadis rasul yang berbunyi: 

Maksudnya: “Bersabda Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit: “Terimalah kembali kebun itu dan ceraikanlah ia dengan satu talak”. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari) 
Atau dalam bentuk harta atau uang, sama nilainya sedikit atau lebih dari mahar yang diberikan saat akad nikah. Bisa juga dalam bentuk hutang ataupun manfaat. Oleh itu setiap apa yang bisa dijadikan mahar, maka boleh dijadikan sebagai bayaran ganti rugi atau tebusan dalam khuluk. 

Adapun syarat
-syarat iwadh yaitu :

1. Hendaklah ia berharga atau bernilai menurut pandangan syara’. 

2. Hendaklah harta itu diketahui atau dimaklumi. 

3. Hendaklah harta itu boleh diserahkan kepada orang lain.

4. Dapat dimiliki sepenuhnya. 

d. Status hukum Khuluk

Dalam masalah ini , para ulama terbagi
menjadi tiga pendapat :
     Pendapat Pertama, Khuluk adalah talak Bain, ini pendapat mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi,i dalam qoul jadid.Pendapat Kedua, Khuluk adalah talak Raj’i , ini pendapat Ibnu Hazm.Pendapat Ketiga, Khuluk adalah fasakh (Penghapusan akad Nikah) dan bukan talak. Ini pendapat Ibnu Abbas, Syafi,i , Ishaq bin Rahuyah dan Daud Azzahiri. Menurut mereka seaindainya suami melakukan khuluk sepuluh kalipun, ia masih boleh menikahi mantan istrinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan yang lainnya.

E.      Akibat Sumpah Li’an
Pengertian li’an

     Li’an adalah saling menjauh, yakni suami-istri saling menjauh setelah terjadi li’an selamanya. Li’an adalah sumpah suami bahwa istrinya telah berzina(berselingkuh) dengan orang lain dan anak yang dilahirkan istrinya akibat zina(jika ada) bukanlah anaknya.

a.       Hukum Li’an
     Jika seseorang menuduh istrinya berzina tanpa  bukti, maka ia telah melakukan qadzaf dan berhak mendapatkan hokum had berupa 80 kali cambukan. Allah ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan” (QS. An Nuur : 4)
Had tersebut tidak berlaku jika dia membawa 4 orang saksi sebagai bukti. Allah Ta’ala berfirman :
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)” (QS. An Nisaa : 15)
Jika dia tidak mempunyai bukti sementara dia :
  1. Yakin istrinya telah berzina karena melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, atau istrinya mengaku sendiri, atau mendapatkan kabar dari sejumlah orang yang mencapai derajat mutawatir.
  2. Punya dugaan sangat kuat bahwa istrinya telah berzina karena adanya berbagai macam indikasi yang mengarah ke sana (semisal mendapati istrinya dan orang ketiga tidur bersama dalam 1 selimut) dan tersebarnya berita di masyarakat bahwa istrinya telah berzina atau adanya berita dari orang yang terpercaya bahwa istrinya telah berzina.
maka dia boleh melakukan li’an. Allah Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ . وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ . وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ . وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa murka Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” (QS. An Nuur : 6-9)
Akan tetapi, yang lebih utama adalah tidak melakukan li’an (ingat : li’an hukumnya boleh, bukan dianjurkan) karena dia telah menutupi aib istrinya dan termasuk memaafkan kesalahan. Jika dia membenci istrinya, ceraikan saja. Jika masih cinta, maka maafkan kesalahannya.
b.      Sumpah Li’an
Jika amarah sudah di ubun-ubun akibat perselingkuhan, dan ia yakin istrinya telah berzina, maka boleh bagi suami melakukan li’an di hadapan hakim atau di hadapan jama’ah di masjid dan menyebutkan sumpah sebagai berikut :
أَشْهَدُ بِاللهِ إِنَّنِي لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِيْ فُلَانَةَ مِنَ الزِّنَا, وَ أَنَّ هَذَا الوَلَدَ مِنَ الزِّنَا وَ لَيْسَ مِنِّيْ (أربع مرات)
“Aku bersaksi –demi Allah- sungguh aku benar-benar orang yang jujur dengan tuduhanku bahwa istriku –fulanah (sebutkan namanya)- telah berzina, dan anak ini adalah anak zina dan bukan anakku” (sebanyak 4x)
Kemudian ia berkata setelah hakim menasihatinya (semisal dengan mengingatkan bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat) :
وَ عَلَيَّ لَعْنَةُ اللهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الكَاذِبِيْنَ
“Dan aku berhak mendapat laknat Allah jika aku berdusta”
Reaksi Istri
Jika istri tidak terima tuduhannya, maka istri bisa juga melakukan li’an dengan menjawab :
أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّ فُلَانًا هَذَا لَمِنَ الكَاذِبِيْنَ فِيْمَا رَمَانِي بِهِ مِنَ الزِّنَا (أربع مرات)
“Aku bersaksi –demi Allah- bahwa fulan (sebutkan nama suami) adalah pendusta dengan apa yang tuduhannya bahwa aku telah berzina” (sebanyak 4x)
Kemudian ia berkata setelah hakim menasihatinya (semisal dengan mengingatkan bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat) :
وَ عَلَيَّ غَضَبُ اللهِ إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ
“Dan aku berhak mendapat murka Allah jika dia adalah orang yang jujur (dengan tuduhannya)”
Selesailah hubungan mereka berdua selamanya setelah itu.
Dampak Hukum Dari Li’an
Jika seorang suami melakukan li’an, maka akan mengakibatkan 5 hal sebagai berikut :
  1. Suami tidak dikenai hukum had atas perbuatannya yang menuduh istrinya berzina
  2. Istri dikenai hukum had, yakni dirajam sampai mati jika si istri tidak melakukan li’an balasan
  3. Keduanya resmi bercerai
  4. Jika ada anak, maka anak tersebut tidak sah dinisbatkan ke diri suami dan bukan tanggungan suami
  5. Keduanya tidak dapat rujuk selamanya
Jika istrinya melahirkan seorang anak akibat zina, maka si suami wajib mengatakan bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak boleh menisbatkan anak orang lain kepada dirinya sendiri. Ini adalah perbuatan yang haram dan terdapat ancaman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang melakukannya.

Jika keduanya melakukan li’an

Jika keduanya melakukan li’an, maka bisa dipastikan ada salah seorang diantara mereka yang berdusta. Jika si suami yang berdusta, dia berhak mendapatkan laknat Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan jika si istri yang berdusta, dia berhak mendapatkan murka Allah ‘Azza wa Jalla.

Laknat adalah dijauhkan dari rahmat. Orang yang dimurkai oleh Allah ‘Azza wa Jalla lebih buruk nasibnya daripada orang yang dilaknat oleh Allah ‘Azza wa Jalla (walaupun keduanya sama-sama buruk, na’udzu billahi min dzalik).
Maka dustanya istri lebih buruk daripada dustanya suami karena jika si suami berdusta, maka dia hanya berdusta dalam satu perkara, yakni dalam tuduhannya kepada si istri. Adapun jika si istri yang berdusta, maka dia sudah berzina, berdusta pula dalam sumpahnya. Inilah sisi yang membuat hukuman terhadap kedustaan istri lebih parah daripada kedustaan suami.
























Daftar pustaka
Ramulyo, Mohammad Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Muhammad Uwidah, Syakh Kamil. 1998. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Muh. Azam, Abdul Aziz., Sayyid hawas, Abdul Wahab. 2009. Fiqih Munakahat. Jakarta.




 










    






[1] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 2 (Bandung Pustaka Setia, 1999), hlm. 73
[2] M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit., hlm 75
[3] Slamet Abidin dan H. Aminuddin. Fiqh Munakahat 2, Op. Cit., hlm 73
[4] Ibid

Post Top Ad

Your Ad Spot