PENGERTIAN IDEALISME, REALISME DAN MATERIALISME DALAM ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Selasa, 25 September 2018

PENGERTIAN IDEALISME, REALISME DAN MATERIALISME DALAM ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN


1.       


a)        IDEALISME

Idealisme adalah suatu aliran filsafat yang paling tua yang umumnya disandarkan dengan filsuf besar Plato. Aliran ini memiliki suatu keyakinan bahwa realitas ini terdiri dari subtansi sebagaimana ide-ide atau spirit. Alam nyata tergantung pada Tuhan sebagai Jiwa Universal. Alam nyata ini adalah pancaran dan ekspresi dari Jiwa Universal itu. Realitas yang sesungguhnya bukanlah terletak pada bendanya, tetapi pada sesuatu yang berada didalam dan mengikat zat tersebut, sehingga ia menjadi wujud. Pengetahuan menurut aliran ini tidak lain adalah yang ada dalam ruang idea.[1]
Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap kondisi perubahan terus-menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang sempurna dan abadi (eternal). Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak bisa ditemukan dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato percaya bahwa disana terdapat kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya dapat ditemukan pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar (merupakan kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar, dan bahkan di waktu yang akan datang pasti akan tetap benar[2].
1)        Tokoh-Tokoh Aliran Idealisme
Aliran ini banyak melahirkan tokoh-tokoh besar yang sangat berpengaruh, di antara
nya yaitu:


Ø  Plato (477 -347 SM)
Menurut Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Ø  J. G. Fichte (1762-1914 M.)[3]
Ia adalah seorang filsuf Jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin.   Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
Ø  G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)[4]
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang di ilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya ide (berpikir).
2)        Idealisme dalam Pendidikan
Aliran idealisme terbukti cukup banyak  berpengaruh dalam dunia pendidikan. Idealisme terpusat tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.
Bagi aliran idealisme, peserta didik merupakan pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual. Sejak idealisme sebagai aliran filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan filsafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat tapi idealisme. Maka tujuan pendidikan menurut aliran idealisme terbagi atas tiga hal, tujuan untuk individual, masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan antar manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.

b)       REALISME
Pada hakikatnya kelahiran realisme sebagai suatu aliran dalam filsafat sebagai sintesis antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu sisi dan empirisme John Locke di sisi lainnya. Realisme ini kadang kala disebut juga neo rasonalisme. John Locke memandang bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat metafisik dan universal. Ia berkeyakinan bahwa sesuatu dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman-pengalaman indrawi, sifatnya induksi. John Locke menyangkal kebenaran akal.[5]
Gagasan filsafat realisme terlacak  dimulai sebelum periode abad masehi dimulai, yaitu dalam pemikiran murid Plato bernama Aristoteles (384-322 SM). Sebagai murid Plato, sedikit banyak Aristoteles tentu saja memiliki pemikiran yang sangat dipengaruhi Plato dalam berfilsafat. Dalam keterpengaruhannya, Aristoteles memiliki sesuatu perbedaan pemikiran yang membuatnya menjadi berbeda dengan Plato[6].
Aristoteles memandang dunia dalam terma material. Segala sesuatu yang ada dihadapan kita adalah sesuatu yang riil dan terpisah dari alam pikiran, namun ia dapat memunculkan pikiran melalui upaya selektif terhadap berbagai pengalaman dan melalui pendayagunaan fungsi akal. Jadi, realitas yang ada adalah dalam wujud natural, sehingga dapat dikatakan bahwa segala sesuatu selalu digerakkan oleh alam.[7]

c)      MATERIALISME
1.      Sejarah Lahirnya Aliran Filsafat Materialisme
            Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang disebut juga “atomisme”. Demokritos beserta para pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (yang disebut atom). Atom-atom merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga mata kita tidak dapat melihatnya. Atom-atom itu bergerak, seehingga dengan demikian membentuk realitas pada pancaindera kita.
            Ludwig Feuerbach (1804-1872) mencanangkan suatu meta-fisika materialistis, suatu etika yang humanistis, dan suatu epistemology yang menjungjung tinggi pengenalan inderawi. Oleh karena itu, ia ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feuerbach) dengan materialisme. Jadi, menurut Feuerbach, yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam spiritual. Kepercayaan terhadap Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau ketidakpuasan manusia mencapai cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud di luar yang dikhayalkan memiliki kesempurnaan, yang merupakan sumber kebahagiaan manusia, suatu wujud yang bahagia secara absolute. Oleh karena iu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia itu sendiri, secara maya, padahal wujudnya tidak ada.
            Cabang materialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini, dijadikan sebagai landasan berpikir adalah “Positivisme”. Menurut positivisme, kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya.
            Comte membatasi pengetahuan pada bidang gejala-gejala (fenomena). Menurut Comte, terdapat tiga perkembangan berpikir yang dialami manusia, yaitu:
1.      Tingkatkan teologis (pola berpikir manusia dikuasai oleh tahayul dan prasangka)
2.      Tingkatkan metafisik (pola berpikir abstrak)
3.      Tingkatkan positif (pola berpikir yang mendasarkan pada sains)
            Zaman positif (Harun Hadiwijono, 1980) adalah zaman dimana orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologi maupun metafisik. Ia tidak lagi melacak awal dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta tapi berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan aturan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya.
                                                                                               
            Jadi, dikatakan positivisme, Karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah berdasarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif.
            Thomas Hobbes sebagai pengikut empirisme materialistis berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberi kepastian. Pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan (Harun Hadiwijono, 1980).

2.      Tokoh-tokoh Aliran Materialisme
            Terdapat beberapa tokoh-tokoh yang terdapat pada aliran materialisme:
a.       Demokritos (460-360 SM)
Demokritos merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang disebut juga “atomisme”.
b.      Julien de Lamettrie (1709-1751)
Mengemukakan pemikirannya bahwa binatang dan manusia tidak ada bedanya,karena semuanya dianggap sebagai mesin. Buktinya,bahan (badan) tanpa jiwa mungkin hidup (bergerak),sedangkan jiwa tanpa bahan (badan) tidak mungkin ada. Jantung katak yang dikeluarkan dari tubuh katak masih berdenyut (hidup) walau beberapa saat saja.
c.       Ludwig Feuerbach (1804-1972)
Ludwig Fuerbach mencanangkan suatu metafisika,suatu etika yang humanistis,dan suatu epistemology yang menjunjung tinggi pengenalan inderawi. Oleh karena itu,ia ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feurbach) dengan materialisme.
d.      Karl Marx (1818-1883)
Nama lengkap Karl Heinrich Marx,dilahirkan di Trier,Prusia,Jerman. Sewaktu menjadi mahasiswa ia terpengaruh oleh ajaran Hegel dan dapat mencapai gelar dokter dalam bidang filsafat. Pemikiran Karl mark disebut pula dialektik materialisme dan historis materialisme. Di dalam berpikir,Karl Marx menggunakan dialektika dari Hegel,oleh sebab itu disebut dialektika materialisme. Demikian pula disebut historis materialisme karena berdasarkan kepada perkembangan masyarakat atau sejarah atas materinya.

3.      Konsep Dasar Filsafat Materialisme
            Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau supranatural.
            Filsafat materialisme memandang bahwa materi lebih dahulu ada sedangkan ide atau pikiran timbul setelah melihat materi. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi. Contoh: karena meja atau kursi secara objektif ada, maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan meja atau kursi sebelum benda yang berbentuk meja dan kursi belum atau tidak ada.
1.      Ciri-ciri filsafat materialisme
Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi
Tidak meyakini adanya alam ghaib
Menjadikan panca-indera sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu
Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakkan hukum
Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlaq
2.      Variasi aliran filsafat materialisme
Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme metafisik.
Filsafat Materialisme Dialektika
Materialisme dialektika adalah materialisme yang memandang segala sesuatu selalu berkembang sesuai dengan hukum-hukum dialektika: hukum saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif didalam dunia semesta. Pikiran-pikiran materialisme dialekti inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya, “bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap timbullah terang”, “patah tumbuh hilang berganti” dsb. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
Filsafat Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis. Pikiran-pikiran materialisme metafisik ini misalnya: “sekali maling tetap maling”, memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa berubah.

4.      Pemikiran Filsafat Pendidikan Materialisme
Karakteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang (Randal,et.al,1942). Asumsi tersebut menunjukkan bahwa :
1) Semua sains seperti biologi, kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya          ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat). jadi, semua sains merupakan cabang dari sains mekanika;
2) Apa yang dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak,system urat saraf, atau orga-organ jasmani yang lainnya.
3) Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita,makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, serta kebebasan,hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan, symbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda.
2.5. Implikasi Aliran Filsafat Materialisme untuk Pendidikan
          Menurut Power (1982), implikasi aliran filsafat pendidikan materialisme, sebagai berikut:
1. Temanya yaitu  manusia yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.
2.Tujuan pendidikan merupakan perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
3. Isi kurikulum pendidikan yang mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan diorganisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4. Metode, semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning), operant condisioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetisi.
5.  Kedudukan siswa tidak ada kebebasan, perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar, pelajaran sudah dirancang, siswa dipersiapkan untuk hidup, mereka dituntut untuk belajar.
2.6. Kelebihan dan Kekurangan Filsafat Materialisme untuk Pendidikan
Jika dibandingkan dengan aliran filsafat yang lain aliran filsafat materialisme adalah aliran yang mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, terutama dalam anggapannya yang hanya meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Mereka menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya. Materialisme adalah aliran yang memandang bahwa segala sesuatu adalah relitas, dan realitas seluruhnya adalah materi belaka. Kenyataan bersifat material dipandang bahwa segala sesuatu yang hendak dikatakannya adalah berasal dari materi dan berakhir dengan materi atau berasal dari gejala yang bersangkutan dengan materi.
Untuk pendidikan, materialisme memandang bahwa proses belajar merupakan proses kondisionisasi lingkungan serta menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademis empiris sebagai hasil kajian sains atau alam, sedangkan perilaku sosial sebagai hasil belajar.
Namun meskipun aliran filsafat materialisme mendapat kritikan dari berbagau pihak tapi didalam pendidikan masih sering juga kita temui penerapannya dalam pembelajaran seperti menyodorkan setumpuk buku ke peserta didik .





[1] Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 132
[2] George R. Knight (Terjemahan Dr. Mahmud Arif, M.Ag). Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta:  Gama Media, 2007), hlm. 69.
[3] A. Fuad Ihsan. Filsafat Ilmu (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 160
[4] Ibid, hlm. 161

5Inayah, Filsafat Pendidikan Realisme,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot