Makalah Asas Legalitas, Asas Retroaktif, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

Makalah Asas Legalitas, Asas Retroaktif, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan



1.    Asas Legalitas (Principle of Legality)

Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dapat kita jumpai suatu dasar yang pokok dalam tindak pidanan,yaitu adanya asas legalitas (Principle of Legality). Asas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, yang dalam bahasa latin berbunyi : “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali[1].

Rumusan Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali berasal dari seorang sarjana hukum pidana Jerman Von Feurbach yang juga berhubungan dengan teori Vom Psychologischen Zwang, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan, akan tetapi juga tentangmacam pidana yang diancamkan. Menurut Moeljatno, asas legalitas disini mengandung tiga pengertian :
a.       Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)
c.       Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut[2]
Untuk bentuk analogi yang dilarang, Vos mengatakan bahwa penerapan analogi tidak diisinkan setidak-tidaknya dalam hal yang depan analogi diciptakan delik-delik dan bertentangan dengan pasal 1 ayat KUHP[3]. Akan tetapi seiring dengan perkembangan teknologi canggih sehingga perlu adanya aplikasi yang sifatnya terbatas.
Contoh kasus, A adalah programmer komputer dan menyerahkan temuannya pada firma B, suatu saat A mengkopy program temuannya itu dan membuat usaha seperti firma B. dalam keputusan ditetapkan bahwa komputer dipandang dalam arti undang-undang pindana, sehingga perbuatan A dikategorikan penggelapan.
Memang sulit memisahkan antara pengertian penafsiran ekstensif dan aplikasi analogi seperti dalam kasus tersebut. Noyon Langerijer-Remmelink member contoh lain diantara menyamakan pencurian dengan menyadap sesuatu benda cair, mesin ketik dengan pena, dan lain-lain[4].
Meskipun rumusan asas legalitas ini dari bahasa latin namun bukan ketentuannya tidak berasal dari Romawi sebab disana yang ada hanyalah kejahatan yang dinamakan Criminal Extra Ordinari artinya kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang[5]. Maka asas ini merupakan ajaran klasik abad XIX.
Asas Legalitas ini kemudian banyak muncul dalam KUHP Thailand, pasal 1 KUHP Turki, pasal 1 KUHP Jepang, dan lain-lain. Sedangkan KUHP yang tidak mencamtumkan asas legalitas yaitu KUHP yang berasal dari Inggris seperti KUHP Malaysia, KUHP Singapura, KUHP Brunei Darussalam. Sebab hukum Inggris dibentuk secara empiris yang merupakan hasil keputusan-keputusan pengadilan terhadap kasus-kasus dan juga Common Law[6].
Adanya asas ini, bagi bangsa Indonesia sendiri menurut Andi Hamzah adalah dilemma sebab banyaknya hukum adat yang tidak mungkin dikodifikasi seluruhnya. Akan tetapi jika dilihat dari sisi kepastian hukum dan perlindungan HAM memerlukan adanya asas legalitas.

2.    Asas Retroaktif (hukum transitior)
Dalam pasal 1 ayat 2 mecamtumkan bahwa adanya pembatasan terhadap pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya. Hal ini dimaksudkan agar peraturan baru yang keluar dan itu lebih berat dikenakan pada terdakwa[7]. Asas ini juga merupakan pengecualian terhadap asas yang berlaku umum yakni lex temporis delicti (undang-undang yang diterapkan pada saat terjadinya perbuatan adalah undang-undang yang pada saat itu berlaku).
Menurut Vos, satu problematika yang terjadi jika suatu ketentuan yang baru sebagian menguntungkan dan sebagian lainnya tidak, atau jika hakim tidak dapat menentukan mana yang lebih menguntungkan diantara keduanya bagi terdakwa, maka ia harus kembali pada pasal 1 ayat 1 KUHP dan terdakwa tidak boleh memilih. Sedang Pompe menyatakan jika ada dua undang-undang yang sama-sama menguntungkan maka undang-undang barulah yang diterapkan sebab adanya pengecualian tersebut. Jika tidak ada pengecualian maka undang-undang lamalah yang harus diterapkan.
Memang sulit untuk memecahkan masalah seputar aplikasi ayat 1 ayat 1 itu, oleh karena itu Hazewinkel-Suringa berpendapat bahwa hukum transitoir ini dihapuskan saja. Hal sependapat juga diungkapkan oleh Jonkers yang menyatakan bahwa penghapusan ini lebih menguntungkan.

3.    Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Green Straf Zonder Schuld : Actus Non Facit Nisi Mens Sit Rea)
Asas ini ada dalam hukum yang tidak tertulis dan hidup dalam anggapan masyarakat. Andaikata ada seseorang yang dipidana tanpa mempunyai kesalahan misalnya ia melakukan perbuatan yang ia tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya, maka ini akan mencoreng keadilan. Hendaknya dia diberi tahu terlebih dahulu tidak langsung dipidana.
Dalam KUHP ada beberapa aturan mengenai tidak pidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana misalkan pasal 44 mengenai orang yang tidak mampu bertanggungjawab atau karena adanya paksaan (overmacht).

Contoh Kasus  
Dini hari tanggal 27 Januari 2013, Raffi Ahmad beserta 16 orang lainnya ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) di rumahnya atas tuduhan penyalahgunaan dan pemakaian narkoba. Raffi Ahmad, yang dicurigai oleh masyarakat setempat sering melakukan pesta di kediamannya di Jalan Gunung Balong I No 16 I, Cilandak, Jakarta Selatan kini tengah menjalani proses penyidikan guna memastikan apakah dirinya ikut terlibat dalam peredaran barang haram ini atau tidak. Dari 17 tersangka, 8 orang telah dilepaskan , karena tidak tersangkut narkoba, sedangkan 10 lainnya dikenakan perpanjangan penahanan untuk pemeriksaan selama 3x24 jam yang kedua. Dua orang telah dinyatakan positip mengkonsumsi narkoba dan salah satu diantaranya adalah Raffi Ahmad. Raffi Ahmad Sering Pesta Narkoba di Rumahnya Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Penindakan Badan Narkotika Nasional, Brigadir Jenderal Benny Joshua Mamoto, mengatakan, bersama artis berinisial RA alias Raffi Ahmad, ia juga menciduk tiga artis lain.
"Kami menangkap 17 orang. 13 laki-laki, empat wanita. Dan empat di antara (semua)-nya artis," ujar dia, Ahad, 27 Januari 2013.
Mereka ditangkap di rumah Raffi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan subuh tadi sekitar pukul 04.30 WIB. "Semua masih dalam
 pemeriksaan," kata dia.
Benny mengamankan barang bukti berupa dua linting ganja dan MDMA. "Dicampur dengan Sprite. Modusnya, pil itu dimasukkan ke dalam Sprite, lalu diminum."
Untuk meyakinkan keterlibatan mereka, kini Benny masih menunggu hasil tes urine mereka. "Mudah-mudahan setengah jam ini hasil lab keluar."
Dia menambahkan, kawanan ini telah lama diincar. "Sudah beberapa bulan diintai, kebiasaan lakukan pesta-pesta narkoba," katanya. Menurut Benny, di rumah presenter "Dahsyat" ini sering diadakan pesta narkoba. Di antara empat artis itu diduga inisialnya adalah WH, S, dan I[8].

Analisis
Dari 17 orang yang ditangkap BNN di rumah Raffi Ahmad (RA) ternyata ada 2 orang diantaranya yang positif mengkonsumsi turunan zat cathinone (3,4 Methylenedioxy-N-methylcathinone) dan 1 orang positif mengkonsumsi cathinone dan ganja. Zat turunan cathinone ini belum diatur dalam UU No 35/2009 tentang Narkotika. Karena itu, secara hukum, perbuatan mengkonsumsi cathinone tidak boleh dipidana dengan UU Narkotika, kecuali jika UU Narkotika ini direvisi dan inipun tidak boleh berlaku surut menjerat RA Cs.
Zat turunan cathinone tersebut tidak sama dengan zat catinona. Yang benar, zat turunan cathinone adalah turunan atau varian dari catinona. Berbeda dengan zatcathinone, zat catinona sendiri telah masuk dalam nomor urut 35 dari narkotika golongan I dalam UU Narkotika tersebut di atas.
Karena itu, jika niat sekali menghukum RA Cs maka cari dasar hukum lain, tapi bukan memakai atau mengkonsumsi cathinone. Pasal yang mungkin diterapkan adalah ketentuan larangan mengkonsumsi, memiliki, menyimpan, atau menguasai ganja. Dalam hal ini harus dibuktikan unsur kesengajaan/kesadaran/pengetahuan soal memiliki, menyimpan, menguasai ganja dst tersebut. Ini untuk membedakan dengan orang yang difitnah tak tahu-menahu namun ada ganja di rumah, mobil, dsb miliknya.
Bahkan, dalam perspektif yang lebih progresif, sebenarnya para pengkonsumsi ganja dsb itu, sebaiknya tidak perlu dihukum. Mereka adalah korban. Yang paling mendesak diperlukan para korban demikian adalah rehabilitasi supaya sembuh. Bukan penjara. Penjara lebih pantas pada pengedar dan bandar. Makanya ada diatur peluang rehabilitasi terhadap pencandu narkoba.
Baik. Kembali ke pokok soal. Dalam hukum pidana suatu perbuatan baru bisa dihukum jika terlebih dahulu perbuatan tersebut telah ada aturan larangannya dalam undang-undang. “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada,” demikian jelas dan tegas ditentukan oleh Pasal 1 ayat (1) KUHP. Menghukum perbuatan mengkonsumsi cathinone, dengan demikian, mutatis mutandis bertentangan dengan asas legalitas dalam KUHP ini.
Berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan tersebut di atas, ketentuan soal zat catinona tidak bisa diperluas atau dianalogikan menjadi termasuk juga cathinone. Analogi demikian terlarang dalam hukum pidana karena bertentangan dengan asas legalitas. Sebagai catatan kaki, penafsiran analogis artinya adalah memberi tafsir pada suatu kata dalam undang-undang dengan memberi ibarat (kiyas) pada istilah hukum lain yang sebelumnya telah ada, sehingga suatu perbuatan yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Apa bahayanya memaksakan analogi demikian?
Bahayanya adalah, pasal-pasal hukum akan menjadi “karet” dan meluas ke mana-mana. Dalam situasi ini sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan sewenang-wenang aparat hukum kepada penduduk atau warga negara. Sementara hukum pidana itu tidak main-main, konsekuensi hukumnya bisa luar biasa serius: dari pidana penjara sampai pidana mati. Jadi, bahaya sekali.
Kita ambil contoh variasi lain dari bahaya analogi demikian jika diterapkan dalam kasus nyata. Tape atau tapai mengandung alkohol tapi tidak termasuk perbuatan yang terlarang mengkonsumsinya; sama juga dengan durian. Tidak ada larangan mengkonsumsi durian sekalipun di dalamnya mengandung unsur kimia alkohol yang dalam batas berlebihan dapat memabukkan.
Andai analogi dibolehkan maka penjual air tapai bisa kenakan Pasal 537 KUHP. Yakni, dengan menganalogikan air tapai sebagai minuman keras, sebagaimana diatur dan diancam pidana bagi penjualnya dalam Pasal 537 KUHP tersebut. Bahaya sekali, bukan? Banyak lagi contoh lainnya.
Filosofi dari kriminalisasi suatu perbuatan adalah, harus melalui persetujuan rakyat yang akan diatur perbuatan pidananya. Persetujuan rakyat untuk dijatuhi pidana jika melanggar aturan yang telah ditentukan direpresentasikan oleh persetujuan wakil rakyat waktu menyetujui suatu undang-undang atau peraturan daerah yang memuat pasal pidana. Nah, suatu perbuatan yang belum ada pidananya dalam undang-undang, dengan demikian bertentangan secara filosofis dengan kedaulatan rakyat ini.
Di Indonesia hanya ada dua saja peraturan perundang-undangan yang boleh memuat pasal pidana, yakni undang-undang (UU) dan peraturan daerah (Perda). Dimana UU boleh memuat ancaman pidana minimal 1 hari maksimal pidana mati. Sementara perda boleh memuat pasal pidana dengan ancaman pidana maksimal 6 bulan.
Mengapa hanya UU dan Perda saja yang dibolehkan oleh sistem hukum memuat pasal pidana? Bukan peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Keppres), peraturan meteri (Permen), dll? Adalah karena hanya dua jenis peraturan perundang-udangan ini saja yang perumusan dan pembuatannya atas persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya di parlemen (DPR/D, DPRD).



KESIMPULAN

Dalam hukum Pidana terkandung asas-asas menurut tempat dan waktu. Dan diantara asas-asas tersebut yaitu, asas legalitas, dan Retroaktif dan Tiada Pidana Tanpa Kesalahan.
1.  Asas Legalitas
Seseorang tidak akan dikenakan hukuman selama berbutannya tidak terkandung dalam ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan. 
2.  Asas Retroaktif
Sesuai dalam pasal 1 ayat 2 mecamtumkan bahwa adanya pembatasan terhadap pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.
3.  Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Seseorang melakukan perbuatan yang ia tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya, maka ini akan mencoreng keadilan. Hendaknya dia diberi tahu terlebih dahulu tidak langsung dipidana.



Daftar Pustaka
Hamzah, Andi,1994, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta ; Renika Cipta
Moeljatno,2000, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta ; Renika Cipta
http://hukum-pidana.blogspot.com/2010/12/asas-asas-hukum-pidana.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Raffi_Ahmad





[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994, Hlm. 39
[2] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000, hlm. 25
[3] Andi Hamzah, op. cit., hlm. 45
[4] Andi Hamzah, ibid., hlm. 47
[5] Moeljatno,op. cit., hlm. 24
[6] Andi Hamzah,op. cit., hlm. 41
[7] Andi Hamzah, ibid., hlm. 54
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Raffi_Ahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot