Makalah Cara Merumuskan Perbuatan Pidana, Jenis-Jenis dan Subjek Tindak Pidana - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

Makalah Cara Merumuskan Perbuatan Pidana, Jenis-Jenis dan Subjek Tindak Pidana





A.    Cara Merumuskan Perbuatan Pidana

Buku II dan buku III KUHP berisi tentang tindak pidana-tindak pidana tertentu. Tentang bagaimana cara pembentuk UU dalam merumuskan tindak pidana itu pada kenyataannya memang tidak seragam. Dalam hal ini akan dilihat dari tiga dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP kita, yaitu:[1]

1.      Dilihat dari sudut cara pencantuman unsur-unsur kualifikasi tindak pidana. Dari sudut ini dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada tiga cara perumusan perbuatan pidana yaitu:
a.       Mencantumkan unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana. Cara yang pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini digunakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok atau standar, dengan mencantumkan unsur-unsur objektif maupun subjektif, misalnya pasal 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pengancaman), 369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (pengrusakan).
b.      Mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana. Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualifikasi, dalam praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 diberi kualifikasi sumpah palsu, stellionaat (385), penghasutan (!60), laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negeri (415).
c.       Mencantumkan kualifikasi dan ancaman pidana. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilator belakangi oleh rasio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351), yang dirumuskan dengan sangat singkat yakni: “ penganiayaan (mis hundeling) diancam dengan pdana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak 4500 rupiah”.
2.      Dilihat dari sudut titik beratnya larangan, dari sudut ini maka ada dua cara merumuskan tindak pidana yaitu:
a.       Cara formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal melakukan larangan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Tindak pidana yang dirumuskan secara formil ini disebut dengan tindak pidana formil (Formeel Delict). Contoh  tindakan pidana formal adalah:
1.      Pencurian yang dalam pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud “mengambil barang” tanpa disebutkan akibat tertentu dari pengambilan barang itu.
2.      Memalsukan surat yang dalam pasal 263 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud membuat surat palsu, tanpa disebutkan akibat penentu dari penulisan surat palsu itu.
b.      Cara materiil
Disebut dengan rumusan materiil karena yang menjadi pokok larangan tindak pidana adalah pada menimbulkan akibat tertentu. Titik beratnya larangan adalah para menimbulkan akibat, sedang wujud erbuatan yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindak pidana materiil (Materiil Delict). Contoh tindakan pidana material adalah :
1.      Pembunuhan dalam pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain, tanpa disebutkan wujud dari perbuatan itu.
2.      Pembakaran rumah dengan segaja dalam pasal 187 KUHP dirumuskan sebagai mengakibatkan kebakaran dengan segaja tanpa disebut wujud dari perbuatan itu.
3.      Dilihat dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan.
a.       Perumusan dalam bentuk pokok
Dalam hal bentuk pokok pembentuk Undang-undang selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya dengan secara lengkap. Dengan demikian rumsuan bentuk pokok ini merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu, misalnya pasal 338, 362, 372, 378, 269, dan 406.
Pasal 338:
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara  paling lama lima belas tahun.
Pasal 362:
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 378:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
b.      Perumusan dalam bentuk yang diperingankan dan yang diperberat
Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau yang lebih ringan dari tindak pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut  pasal bentuk pokok saja (misalnya : 364, 373, 379).
Pasal 364:
Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.
Atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya : 339, 363, 365). Kemudian menyebut unsur-unsur yang menyebabkan diperingan dan diperberatkan tindak pidana itu.
Pasal 339:
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Perumusan tindak pidana dapat dilakukan secara formal dan materil, berbeda dengan pembedaan tindak pidana-tindak pidana dimana dalam kenyataanya sifatnya masing-masing memang berbeda.[2]
Kerena semua norma yang disertai ancaman pidana bermaksud melindungi kepentingan, yaitu kepentingan oknum (Hukum Perdata) atau kepentingan negara (Hukum Tata Negara) atau kepentingan umum lainnya (Hukum Tata Usaha Negara), maka pelanggaran norma itu selalu menyebutkan kerugian pada kepentingan itu. Maka, dapat dikatakan bahwa semua tindakan pidana selalu mengakibatkan suatu hal yang tidak baik. Jadi, bagaimanapun cara perumusannya dalam ketentuan hukum pidana, setiap tindak pidana mengakibatkan kerugian pada suatu kepentingan. Dalam hal pencurian, misalnya akibat yang merupakan alasan pencurian tidak diperbolehkan adalah bahwa pemilik dari barang yang dicuri itu dirugikan dalam harta bendanya. Dengan demikian, lebih tepatnya apabila penggolongan ini dinamakan penggolongan “tindakan pidana dengan perumusan secara material” dan “tindakan pidana dengan perumusan secara formal”. Materi berarti “isi” dan form berarti “wujud”, maka dalam tindak pidana material dirumuskan isi berupa akibat yang dilarang, sedangkan dalam tindak pidana formal dirumuskanwujud berupa perbuatan tertentu.[3]
B.     Jenis Delik (Tindak Pidana):
Berberatus-ratus perbuatan diancam dengan hukuman, untuk mendapatkan suatu ikhtisar tentang segala perbuatan itu, maka perlu delik-delik atau tindak pidana tersebut dibagi menjadi beberapa jenis yang setiap jenisnya mengandung beberapa delik yang bersamaan tentang satu sifat. Adapun pembagian jenis-jenis tindak pidana yaitu:[4]
1.      Menurut System KUHP, dibedakan antara Kejahatan (dimuat dalam Buku II) dan Pelanggaran (dimuat dalam Buku III).
Disebut dengan rechtsdelicten atau tindak pidana hukum, yang artinya sifat tercelanya itu tidak semata-mata pada dimuatnya dalam UU melainkan memang pada dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam UU. Walaupun sebelum dimuat dala UU pada kejahatan telah mengandung sifat tercela (melawan hukum), yakni pada masyarakat, jadi berupa melawan hukum materiil. Sebaliknya, wetsdelicten sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam UU. Sumber tercelanya wetsdelicten adalah UU.
Dasar pembeda itu memiliki titik lemah karna tidak menjamin bahwa seluruh kejahatan dalam buku II itu bersifat demikian, atau seluruh pelanggaran dalam buku III mengandung sifat terlarang karena dimuatnya dalam UU.[5]
Contoh-contohnya:
a.       Kejahatan (buku II): penghinaan, kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan, pencurian.
b.      Pelanggaran (buku III): pelanggaran jabatan, pelanggaran pelayaran, pelanggaran kesusilaan, pelanggaran ketertiban umum.
Berikut beberapa perbedaan antara buku II dan buku III.:
No.
Perbedaan
Kejahatan
Pelanggaran
1
Percobaan
Dipidana
Tidak dipidana
2
Membantu
Dipidana
Tidak dipidana
3
Daluwarsa
Lebih Panjang
Lebih Pendek
4
Delik Aduan
Ada
Tidak Ada

Didalam ilmu pengetahuan hukum pidana selanjutnya masih terdapat sejumlah pembagian-pembagiannya dari tindak pidana diantaranya:[6]
2.      Berdasarkan Perumusannya yaitu: Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)

a.       Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.    Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
b.      Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki  (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.

3.      Tindak Pidana Berdasarkan Cara Melakukannya, Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa

a.       Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. Ini termasuk tindak pidana aktif.
b.      Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP). Termasuk dalam tindak pidana pasif yang murni.
c.       Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaran larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP). Jenis tindak pidana yang pasif tidak murni.

4.      Tindak Pidana Berdasarkan Kesalahan berupa Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)

a.       Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP
b.      Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur, misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.

5.      Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan dibedakan antara Delik tunggal dan delik berantai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)

a.       Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b.      Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)

6.      Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, dibedakan menjadi Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, mengandung sesuatu hal yang diancam hukuman. Selama hal itu tidak berakhir selama itu delik berlaku terus. misal pasal 221: dengan sengaja menyembunyikan seseorang sedangkan ia mengetahui yang disembunyikan tersebut dituntut dan dicari karena sesuatu pidana. Sedangkan delik selesai ialah perbuatan-perbuatan yang selesai sesudah perbuatan yang dilarang habis dikerjakan atau sesudah akibat yang dilarang timbul. Kebanyakan delik bersifat berakhir atau selesai terus.
7.      Delik aduan dan delik biasa (klachtdelicten en gewone delicten)
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana tidak disyaratkan adanya aduan dari yang berhak. Sedangkan delik aduan adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana  disyaratkan adanya aduan dari yang berhak.
Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a.       Delik aduan yang absolut, ialah misal: pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
b.      Delik aduan yang relative ialah misal: pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Contoh-contohnya:
a.       Delik biasa: pembunuhan (338) dan lain-lain.
b.      Delik aduan: pencemaran (310), fitnah (311), dan lain-lain.

8.      Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan dibedakan antara Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).

9.      Jenis tindak pidana dari subjek hukumnya terdiri dari Delik Communia dan delik propria
Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang (delictacommunia ) dan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta propria).
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkualitas tertentu saja.
Contoh-contohnya:
Delik communia: pembunuhan (338), penganiayaan (351) dan lain-lain.
Delik propria: pegawai negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada kejahatan pelayaran).

10.  Tindak pidana berdasarkan sumbernya terdiri dari Delik Umum dan Delik Khusus
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KHUP sebagai kodifikasi hukum ppdn materiil. Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat dalam kodifikasi tersebut.
Walaupun telah ada kodifikasi (KUHP), tetapi adanya tindak pidana diluar KHUP merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Perbuatan-perbuatan tertentu yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus berkembang, sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, yang tidak cukup efektif dengan hanya menambahkannya pada kodifikasi (KUHP). Tindak pidana diluar KUHP tersebar didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Peraturan perundang-undangan itu berupa peraturan perundang-undangan pidana.
Contoh-contohnya:
a.       Delik umum: KUHP.
b.      Delik khusus: UU No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, UU No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika.

11.  Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi.
Seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagianya.
C.    Subyek Tindak Pidana
Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana.[7] Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan (deelneming). Konsep penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep pertanggung jawaban pidana, dalam hukum pidana kualifikasi pelaku (subjek) tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP. 
Dalam KUHP terdapat terdapat lima bentuk, yaitu sebagai berikut.[8]
a.       Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana. 
b.      Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain. 
c.       Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan. 
d.      Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan orang lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, dengan ancaman kekerasan, penyesatan, menyalahgunakan martabat dan kekuasaan beserta pemberian kesempatan, sebagiamana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.
e.       Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu. 








Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Cara perumusan perbuatan pidana yaitu:
1.      Dilihat dari sudut cara pencantuman unsur-unsur kualifikasi tindak pidana yaitu:
a.       Mencantumkan unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana.
b.      Mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana.
c.       Mencantumkan kualifikasi dan ancaman pidana.
2.      Dilihat dari sudut titik beratnya larangan, dari sudut ini maka ada dua cara merumuskan tindak pidana yaitu:
a.       Cara formil dan materiil
3.      Dilihat dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan.
a.       Perumusan dalam bentuk pokok
b.      Perumusan dalam bentuk yang diperingankan dan yang diperberat
Jenis-jenis tindak pidana:
1.      Menurut System KUHP, dibedakan antara Kejahatan (dimuat dalam Buku II) dan Pelanggaran (dimuat dalam Buku III).
2.      Berdasarkan Perumusannya yaitu: Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
3.      Tindak Pidana Berdasarkan Cara Melakukannya, Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa.
4.      Tindak Pidana Berdasarkan Kesalahan berupa Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
5.      Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan dibedakan antara Delik tunggal dan delik berantai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)


Subjek hukum:
Dalam KUHP terdapat terdapat lima bentuk, yaitu sebagai berikut.
a.       Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana. 
b.      Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain. 
c.       Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan.
d.      Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan orang lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, dengan ancaman kekerasan, penyesatan, menyalahgunakan martabat dan kekuasaan beserta pemberian kesempatan, sebagiamana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.
e.       Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu














Contoh Kasus:
Liputan6.com, Solo: Seorang pemuda asal Sumber, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (7/7), dibekuk polisi lantaran diduga kerap memeras di rumah keluarga artis dan pelawak Nunung “Srimulat”. Pemuda bernama Andi Rismanto alias Ambon yang dikenal sebagai preman kampung meminta jatah Rp 150 ribu per minggu dengan alasan iuran keamanan.
Saat dimintai keterangan, ia hanya bisa tertunduk lesu. Pemuda bertato ini ditangkap aparat Kepolisian Sektor Banjarsari, menyusul laporan salah seorang kerabat Nunung. Dari keterangan saksi, tersangka sering memeras di rumah keluarga tersebut. Jika tidak dituruti, maka pelaku tidak segan melakukan kekerasan.
Perilaku tersangka pun dianggap meresahkan. Tidak hanya keluarga Nunung “Srimulat” yang menjadi korban, tapi juga warga lain di kawasan tersebut. Dari pengakuan tersangka, uang yang diperoleh digunakan untuk membeli rokok dan minuman keras.
Selain menangkap tersangka, polisi menyita barang bukti uang sebesar Rp 20 ribu dan kartu tanda penduduk milik tersangka. Atas perbuatannya, tersangka dijerat pasal pemerasan dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara.(BJK/ANS)
Analisis
A.      Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
Dalam cara merumuskan perbuatan pidana untuk kasus diatas, apabila dilihat sudut cara pencantuman unsur-unsur kualifikasi tindak pidana, maka dalam kasus ini merupakan bagian dari cara merumuskan perbuatan pidana yang mencantumkan unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana. Cara yang pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini digunakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok atau standar, dengan mencantumkan unsur-unsur objektif maupun subjektif. Karena dalam kasus tersebut diatas merupakan bagian kasus pemerasan yang didalam KUHPidana  terdapat dalam pasal 368. Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut :
1.        Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
2.        Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam tindak pidana ini.
Dilihat dari sudut titik beratnya larangan, maka dalam kasus diatas dalam cara merumuskan perbuatan pidana menggunakan cara formil. Disebut demikian karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal melakukan larangan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Tindak pidana yang dirumuskan secara formil ini disebut dengan tindak pidana formil (Formeel Delict).dalam kasus pemerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban merupakan kasus pemerasan yang dalam pasal 368 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang yang tidak disebutkan akibat tertentu dari pemaksaan tersebut.
Dan jika dilihat dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan. Maka dalam kasus ini merupakan perumusan dalam bentuk pokok. Dimana  dalam hal bentuk pokok pembentuk Undang-undang selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya dengan secara lengkap. Dengan demikian rumusuan bentuk pokok ini merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu. Dan dalam KUHP sendiri kasus mengenai pemerasan ini dicantumkan semua unsur-unsurnya dengan secara sempurna (mencantumkan semua unsur-unsurnya).
B.       Jenis Dan Subyek Tindak Pidana
1.        Menurut sistem KUHP, maka tindak pidana tersebut di atas termasuk dalam jenis tindak pidana kejahatan karena di dalamnya mengandung sifat tercela (melawan hukum) yaitu merugikan korban dengan memeras harta korban dan meresahkan masyarakat.
2.        Berdasarkan perumusannya, tindak pidana pemerasan yang mana termasuk dalam Pasal 368 KUHP itu termasuk dalam delik formil karena perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang yang tercantum dalam rumusan delik tersebut, yaitu “memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang”.
3.        Jika berdasarkan cara melakukannya, tindak pidana dalam kasus tersebut termasuk dalam kategori delik commisionis yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, yaitu pemerasan yang mana disebut juga tindak pidana aktif karena dilakukan oleh pelaku sendiri.
4.        Jika dilihat dari segi kesalahan, maka tindak pidana pemerasan tersebut termasuk dalam delik dolus atau memuat unsur kesengajaan karena ada niatan dari pelaku untuk memeras harta korban.
5.        Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatau larangan, maka jenis tindak pidana tersebut termasuk dalam delik tunggal karena dilakukan dengan perbuatan satu kali.
6.        Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, tindak pidana pemerasan yang dilakukan pelaku ini termasuk dalam jenis delik selesai karena perbuatannya selesai sesudah perbuatan yang dilarang itu usai dikerjakan.
7.        Dilihat dari jenis delik aduan atau delik biasa, maka pemerasan tersebut termasu dalam delik aduan karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku itu telah diadukan kepada pihak kepolisian.
8.        Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, tindak pidana pemerasan termasuk dalam jenis delik sederhana.
9.        Dalam jenis tindak pidana jika dilihat dari segi subjek hukumnya, maka tindak pidana pemerasan termasuk dalam jenis delik communia karena tindak pidana tersebut dapat dilakukan oleh semua orang, tidak hanya dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu.
10.    Jika berdasarkan sumbernya, tindak pidana pemerasa termasuk dalam jenis delik umum karena tindak pidana tersebut dimuat dalam KUHP yaitu dalam Pasal 368 KUHP.
11.    Terkait dengan subjek tindak pidana dalam kasus pemerasan tersebut adalah dader (mereka yang melakukan), karena pelaku dalam tindak pidana pemerasan ini hanya dilakukan oleh satu orang tanpa ada bantuan atau peran pelaku yang lainnya.





[1] Saifullah, BUKU AJAR KONSEP DASAR HUKUM PIDANA, 2004, hlm. 5-7
[2] Moeljatno, ASAS-ASAS HUKUM PIDANA, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 1993), hlm. 68
[3] Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama), hlm 36-38
[4] C.S.T. Kansil, dan Christine S.T. Kansil, Hukum Pidana, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 166
[5] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1985), hlm. 202
[6] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II  Fenafsiran Hukum Pidana,Dasar Peniaadaan,pemberat dan peringan,kejahatan aduan,perbarengan dan ajaran kausalitas, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 117-119
[7] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II  ……,ibid,  hlm. 16
[8] R. Soesilo, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea, 1991), hlm. 73-75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot