MAKALAH GUGURNYA HAK MELAKSANAKAN PIDANA - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

MAKALAH GUGURNYA HAK MELAKSANAKAN PIDANA





Gugurnya hak melaksanakan pidana
1.      Sebab meninggalnya terpidana
Pasal 83 KUHP menentukan bahwa “kewenangan menjalanjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”.

Sama dengan sebab kematian sebagai dasar peniadaan penuntutan pidana, pada kematian sebagai dasar peniadaan pelaksanaan pidana berpijak pada sifat pribadi pertanggung jawab dalam hukum pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Orang yang harus menanggung akibat hukum dari tindak pidana yang dibuatnya adalah yang berbuat sendiri dan tidak pada orang lain. Setelah yang berbuat yang harus memikul segala akibat hukum itu meninggal dunia, maka secara praktis pidana tidak dapat dijalankan.

Jika ini terjadi dalam taraf pengusutan (voor-onderzoek), maka pengusutan ini dihentikan. Jika penuntutan telah dimajukan, maka penuntut umum oleh pengadilan harus dinyatakan tidak dapat diterima dengan tuntutannya (niet-ontvankelijk verklaard). Begitupun apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Apabila terdakwa meninggal dunia setelah kepadanya dijatuhi hukuman dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan tetap (gewijsde), maka menuntut 83 KUHP gugurlah (vervalt) hak untuk menjalankan hukumannya, termasuk hukuman tambahan seperti perampasan barang-barang, tetapi tidak termasuk perintah untuk merusakkan (vernietigen) barang atau menjanjikan barang itu tidak dapat dipakai lagi (onbruikbaar maken) kerena tindakan-tindakan itu bukan hukuman, melainkan tindakan kepolisian untuk kepentingan keamanan.[1]
Menilik sifat dari macam-macam pidana yang ada (pasal 10), maka sebenarnya pidana denda (dari jenis pidana pokok) dan pidana perampasan (dari jenis pidana tambahan), atau diluar KUHP pidana “pembayaran uang pengganti” dalam perkara korupsi, masih juga dapat dijalankan kepada terpidana yang meninggal dunia sebelum putusan dijalankan. Manfaatnya adalah pidana denda sebagai sumber pendapatan negara yang dieksekusi adalah berharga bagi negara, yang dapat dibebankan kepada budel harta yang ditinggalkan. Demikian juga pidana perampasan barang tertentu dapat ditetapkan untuk negara. Namun semua manfaat itu tidak dapat menjadi kenyataan karena terbentur pada ketentuan pasal 83.
Latar belakang pada manfaat yang demikian ini, maka dalam tindak pidana ekonomi dikecualikan dari ketentuan pasal 83, dimana dalam pasal 13 ayat (1) UU No. 7 (drt) tahun 1955 ditegaskan bahwa “hak melaksanakan perampasan tidak lenyap karena meninggalnya si terhukum”.  Dengan demikian juga pada tindak pidana korupsi, dalam hal pidana perampasan barang-barang yang telah disita tetap dilaksanakan walaupun terpidananya meninggal dunia. Ketentuan dalam hukum pidana khusus ini hanya perkecualian saja, selebihnya tetap tunduk pada ketentuan pasal 83.[2]
Berikut ini contoh kasus gugurnya hak melaksanakan pidana karena meninggal
     Seorang nara pidana kasus pembunuhan ditemukan tewas disel lembaga permasyarakatan sukamiskin, Bandung, Jawa barat, minggu (20/10/2013)malam. Penyebab kematian belum dapat dipastikan
Narapidana itu diketahui bernama Heriyadi alias Adi. Jasad adi ditemukan terbujur kaku di selnya, saat dilakukan inspeksi mendadak. Sel asi berada di blok barat bawah lembaga permasyarakatan itu
“kami belum bisa menduga kenapa meninggalnya, masih diselidiki tim medis. Kami sudah hubungi pihak keluarga,” kata kepala lapas sukamiskin giri purbadi saat ditemui seusai inspeksi mendadak. Saat ditemukan, selnya tetap terkunci.
Dalam pantauan kompas.com, jasad adi ada di sel bernomer 40. Giri mengatakan, adi ditemukan dalam posisi telentang dan ada darah keluar darihidungnya. Selain itu, ada busa yang terlihat keluar dari mulutnya.
“mudah-mudahan meninggal (karena sebab) wajar,” ujar giri menepis beragam dugaan penyebab kematian adi. Terakhir kali adi terlihat hidup saat digelar apel malam di sel, minggu pukul 19.00 WIB.
kondisi adi saat itu masih terlihat bugar. “setahu saya, yang bersangkutan tak ada riwayat sakit,” imbuh giri.[3]



2.      Sebab kadaluarsa
Pasal 84 ayat (1) menyatakan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus karena kadaluarsa”. Ketentuan ini juga berarti kewaiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setelah lewatnya waktu tertentu, ketentuan lewatnya waktu tertentu yang menyebabkan hapusnya kewenangan negara untuk menjalankan pidana ini berlatar belakang pada kepastian hukum baik bagi terpidana maupun bagi negara
Pidana yang telah dijatuhkan oleh negara, dalam waktu yang semakin lama tidak juga dapat dilaksanakan, keadaan itu adalah kesalahan negara, maka keadaan ini tidak dibenarkan untuk berlangsung terus tanpa kepastian, yang menderitakan terpidana, pada waktu tertentu harus diakhiri. Melaksanakan pidana bagi terpidana adalah melaksanakan suatu penderitaan yang pasti tidak diinginkan. Oleh karena itu merupakan ancaman bahaya bagi terpidana yang belum menjalaninya. Ancaman ini akan membuat penderitaan atin yang mengganggu ketenangan hidupnya, walaupun menurut perasaaannya penderitaan itu lebih ringan daripada pendritaan jika pidana dijalankan kepadadirinya. Dengan lampaunya waktu, kepastian hukum mengenai ancaman bahaya pelaksanaan pidana dapat diakhiri. Demikian juga bagi negara, dengan berakhirnya hak negara untuk menjalankan pidana, maka dapat diakhiri pula kewajibannya untuk melaksanakan pidana terhadap terpidana yang sekian lama tidak dapat dijalankan.
Mengenai berapa lama tenggang waktu untuk menjadi kadaluarsa hapusnya kewenangan negara menjalankan pidana tidaklah sama untuk semua tindak pidana. Pasal 84 ayat (2) menetapkan tenggang daluarsa sebagai berikut:
a.       Mengenai semua pelanggaran lamanya adalah 2 (dua) tahun;
b.      Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan sarana  percetakan lamanya adalah 5 (lima) tahun;
c.       Mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluarsa bagi hapusnya kewenangan dalam hal penuntutan pidana ditambah dengan sepertiganya. Kejahatan-kejahatan lainnya ini ialah:
1)      Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, sesudah 8 (delapan) tahun (6 tahun ditambah 1/3nya);
2)      Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun, sesudah 16 (enam belas) tahun (12 tahun ditambah 1/3nya).[4]
Menurut pasal 78 ayat (2), untuk orang yang sebelum melakukan tindak pidana umurnya belum cukup delapan belas tahun, tenggang-tenggang daluarsa tersebut dikurangi sehingga jadi 1/3nya.[5]
Sedangkan mengenai hak negara dalam menjalankan pidana mati tidak dibatasi oleh lampaunya waktu (pasal 84 ayat 4). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berlaku sepanjang terpidana masih hidup, tetapi jika telah secara pasti dia meninggal, maka hak menjalankan pidana menjadi hapus.
Mengenai saat mulai berlakunya tenggang daluarsa hapusnya hak negara menjalankan pidana, menurut pasal 85 ada 3 (tiga) kemungkinan, yaitu:
a.       Dalam hal keadaan biasa, mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan;
b.      Dalam hal terpidana sedang menjalani pidana, kemudian dia melarikan diri, maka pada esok harinya dari melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluarsa yang baru;
c.       Dalam hal diberikan pelepasan bersyarat yang kemudian pelepasan bersyarat itu dicabut, maka keesokan harinya setelah pencabutan itu mulai berlaku tenggang daluarsa yang baru.
Berikut ini adalah contoh kasus gugurnya hak melaksanakan pidana karena kadaluarsa
Mejelis hakim pengadilan negeri jember membebaskan para terdakwa dua kasus tindak pidana pemilu presiden 2009 lalu. Majelis hakim menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima dan dilaksanakan.
Penetapan hasil pilpres 2009 oleh KPU pusat sudah dilakukan tanggal 25 juli 2009 lalu. “pengajuan perkara kedua kasus itu melampaui waktu, jadi kami tidak bisa mengeksekusi atau menjatuhkan vonis,”kata elly suprapto, SH.
Putusan hakim itu secara otomatis membebaskan empat orang terdakwa dua kasus tindak pidana pilpres di kabupaten jember yang diajukan pengadilan. Keempat terdakwa itu adalah Ahmad Winarko, terdakwa pelaku pencontrengan dua kali. Kemudian para terdakwa pelaku pemalsuan identitas pemilih yang belum genap berusia 17 tahun untuk mencontreng di tempat pemungutan suara 13 kompleks pondok pesantren Al Qodiri pada pemilu presiden tanggal 18 juli 2009 lalu yakni Syaiful Arifin dan Khofid Eksan, santri pondok pesantren Al qodiri kelurahan gebang kecamatan patrang Jember, serta shodik muhammad nur, ketua rukun tetangga (RT) 01 kelurahan gebang.
Sementara, jaksa penuntut umum, HariWibowo, SH dan Awaludin, SH mengaku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain melepas kasus ini,”kata awaludin.
Hal yang sama diungkapkan panitia pengawas pemilu kabupaten jember, Agung Purwanto. Menurutnya, panwaslu sudah berusaha maksimal agar kedua kasus tersebut bisa ditangani secara cepat.”dan rupanya hal itu tetap tidak bisa,” katanya singkat.[6]

3.      Sebab pemberian grasi
Hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana oleh sebab grasi ditentukan oleh pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yang rumusan lengkapnya (setelah amandemen) ialah “presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan mahkamah agung”.
Dalam hal pemberian grasi presiden memutuskan:
a.       Meniadakan pelaksanaan seluruh pidana yang dijatuhkan dalam putusan pengadilan;
b.      Melaksanakan sebagian saja dari pidana yang dijatuhkan dalam putusan;
c.       Mengubah jenis pidana (komutasi) yang telah dijatuhkan dalam putusan menjadi pidana yang lebih ringan baik dalam jenis pidana pokok yang sama (misalnya pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 10 tahun) maupun jenis pidana pokok yang berbeda (misalnya pidana mati diubah menjadi pidana 15 tahun)
Prinsip dasar pemberian grasi ialah diberikan pada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan mengajukan grasi berarti dari sudut hukum pemohon telah dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan permohonan ampun (grasi) berarti dia telah mengakui akan kesalahannya, dia tidak perlu mengajukan grasi, tetapi dia dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK). Pemberian grasi tidak membatalkan putusan pemidanaan hakim. Keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dapat dibatalkan dan diberikan putusan yang lain oleh kekuasaan pemerintahan. Pemberian grasi itu sifatnya adalah memberikan pengampunan dan tidak dapat menghilangkan atau meniadakan kesalahan terpidana. Sifat pemberian grasi adalah sekedar mengoreksi substansi pertimbangan pidana yang dijatuhkan, tidak mengoreksi substansi pertimbangan pokok perkaranya.[7]
Undang-undang tidak secara eksplisit merinci alasan-alasan diberikannya grasi. ULTRECHT menyebutkan 4 alasan pemberian grasi, yaitu:
a.       Kepentingan keluarga dari terpidana
b.      Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat
c.       Terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
d.      Terpidana berkelakuan baik selama berada di lembaga permasyarakatan dan memperlihatkan keisyafan atas kesalahannya
Pada zaman hindia belanda dulu mengenai hukum acara dalam hal grasi diatur dalam gratieregeling (stb. 1993 No. 2) dan setelah proklamasi dikeluarkan peraturan pemerintah republik indonesia nomer 67 tahun 1948 tentang permohonan grasi, yang kedua-duanya kemudian dicabut oleh undang-undang grasi nomer 3 tahun 1950 (L.N. 1950 No. 40). Undang-undang grasi nomer 3 tahun 1950 sejak tanggal 22 oktober 2002 tidak berlaku lagi, karena dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU grasi yang baru yakni UU No. 22 tahun 2002.
Hal-hal pokok yang ditentukan dan diatur didalam UU No. 22 tahun 2002 antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden (pasal 1 ayat 1);
b.      Terpidana yang berhak mengajukan permohonan dan mendapatkan pengampunan oleh presiden adalah tepidana yang dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Grasi hanya dapat diajukan satu kali saja, kecuali dalam dua hal yakni sudah lewat waktu2 tahun sejak tanggal penolakan grasinya dan bagi terpidana mati yang dikabulkan grasinya menjadi pidana seumur hidup dan lewat dua tahun sejak keputusan pemberian grasinya. (dalam UU No.3/1950 tidak ditentukan tentang batas tersebut, dan oleh karena itu dahulu grasi dapat diajukan berkali-kali.
c.       Ditegaskan dalam pasal 3 bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan selain putusan pidana mati
d.      Selain memberikan pembatasan hak terpidana dalam mengajukan grasi, juga UU No 22/2022 prosedurnya sedikit lebih sederhana. Pasal 8 lebih rinci mengaturnya sebagai berikut:
1)      Harus diajukan secara tertulis oleh terpidana sendiri atau kuasanya atau salah satu anggota keluarganya kepada presiden
2)      Salinan dari permohonannya itu disampaikan kepada pengadilan tingkat pertama yang dahulu mengadili dan memutuskan untuk diteruskan kepada mahkamah agung
3)      Permohonan grasi beserta salinannya tadi dapat pula diajukan melalui lembaga permasyarakatan kemudian meneruskan kepada presiden. Sedangkan salinan dari permohonan itu disampaikan pula kepada ketua pengadilan tingkat pertama yang dahulu memutuskan paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi.
e.       Mengenai prosedur penyelesaian permohonan grasi adalah sebagai berikut:
1)      Dalam jangka waktu 20 hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan grasi oleh pengadilan tingkat pertama yang dahulu memutus, pengadilan ini harus mengirimkan salinan permohonan beserta berkas kelengkapannya kepada mahkamah agung (pasal 9)
2)      Setelah mahkamah agung menerima salinan permohonan, maka mahkamah agugng dalam waktu paling lama 3 bulan terhitung sejak diterimanya sudah harus memberi pertimbangan tertulis kepada presiden (pasal 10)
3)      Dalam waktu paling lama sejak diterimanya pertimbangan mahkamah agung, dengan memperhatikan pertimbangan mahkamah agung, pesiden harus sudah mengeluarkan keputusan presiden tentang ditolak atau dikabulkannya permohonan grasi (pasal 11 ayat 3)
4)      Keputusan presiden yang berisi dikabulkannya atau ditolaknya permohonan grasi disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak ditetapkannya keputusan presiden, yang salinan keputusan itu disampaikan kepada mahkamah agung, pengadilan tingkat pertama yang dahulu memutus, kejaksaan negeri yang dahulu menunutut, dan lembaga permasyaratan (pasal 12)
f.       Apabila permohonan grasi diajukan bersama dengan permohonan peninjauan kembali (PK) atau jangka waktu anatara keduanya tidak terlalu lama, maka permohonan PK harus diputuskan lebih dahulu (pasal 14 ayat 1). Sedangkan putusan permohonan grasi harus telah diberikan paling lambat 3 bulan terhitung sejak diterimanya salinan putusan PK oleh presiden (pasal 14 ayat 2).
Dengan dikeluarkannya UU No. 2 taun 2002, dapat dihindarinya penyelesaian permohonan grasi yang bertele-tele tanpa kepastian waktunya, yang sebelumnya dapat bertahun-tahun menunggu tanpa ada kepastian. Dengan dikeluarkannya UU[8] No. 22 tahun 2002 maka hal tersebut dapat terhindarkan.
Adapun pejabat atau instansi yang terlibat dalam proses pengajuan grasi yaitu:
a.       Hakim pengadilan yang memutus pada tingkat pertama (pengadilan negeri), sifatnya imperatif
b.      Jaksa penuntut umum pada perkara yang diputus oleh pengadilan tingkat pertama, sifatnya impiratif
c.       Ketua mahkamah agung, sifatnya impiratif
d.      Jaksa agung, sifatnya fakultif kecuali dalam hal putusan yang dimohonkan grasi adalah putusan dengan pidana mati
e.       Menteri kehakiman yang sifatnya impiratif
f.       Menteri-menteri yang diangap perlu, sifatnya fakultatif
g.      Presiden sebagai kepala negara, sifatnya imperatif, karena beliaulah yang memutus


Berikut ini adalah contoh kasus gugurnya hak melaksanakan pidana karena grasi
Pemerintah akan kembali memberikan remisi dan grasi kepada para narapidana (napi) muslim pada Hari Raya Idul Fitri. Tak terkecuali bagi para napi koruptor seperti yang terjadi pada HUT Ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus lalu. Pemerintah beralasan, remisi dan grasi merupakan hak napi sesuai prosedur hukum.
Karena itu, Menkum dan HAM Patrialis Akbar membantah pemberian remisi dan grasi tersebut merupakan kebijakan yang berlebihan. ''Saya tidak mengobral remisi dan grasi. Tapi, yang saya lakukan sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku,'' tegasnya di Rutan Cipinang kemarin (3/9).
Menurut dia, pemberian remisi dan grasi tersebut sudah berdasar kajian serta rapat berbagai pihak yang bertugas di Ditjen Lapas. Keputusan dalam memberikan remisi dan grasi tersebut juga sudah didukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). ''Presiden memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Kendati demikian, beliau tidak ikut campur dalam masalah hukum,'' ungkapnya.
Belum ada penjelasan resmi siapa saja napi yang akan mendapat keringanan hukuman hingga pembebasan bersyarat itu. Termasuk, para napi koruptor yang kini tinggal di hotel prodeo tersebut. Yang jelas, pemerintah pernah menegaskan tidak akan memberikan remisi dan pengampunan kepada para koruptor.
Namun, kenyataannya, 17 Agustus lalu, pemerintah memberikan remisi dan grasi kepada puluhan koruptor kelas kakap, termasuk besan Presiden SBY, Aulia Pohan.
Menanggapi masalah pemimpin Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo, Abu Bakar Ba'asyir yang dilarang menjalankan ibadah, Patrialis membantah isu tersebut. Sebab, tegas dia, ibadah merupakan hak bagi setiap warga Indonesia yang memiliki keyakinan. ''Bukan hanya muslim yang mendapatkan hak ibadahnya, umat agama lain yang diakui di Indonesia pun memiliki hak ibadah yang sama,'' tegasnya.
Karena itu, pada sepuluh hari terakhir Ramadan ini, para napi muslim dipersilakan menjalankan salat iktikaf di masjid rutan. Jadi, mereka tidak hanya menjalankan puasa dan salat Tarawih.
Menurut Patrialis, Ramadan merupakan momen yang sangat tepat untuk mempererat kedekatan umat muslim di mana pun, termasuk warga binaan di rutan, terhadap Tuhannya. ''Warga binaan dipersilakan melakukan iktikaf di masjid,'' katanya.
Kendati demikian, menteri dari PAN itu meminta para napi tidak menyalahgunakan kesempatan tersebut. Terlebih sampai membuat onar. ''Saya berharap kesempatan itu bisa dimanfaatkan sebaik mungkin untuk lebih dekat kepada Allah,'' ungkapnya.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak tegas pemberian remisi khusus saat Lebaran, terutama bagi koruptor. Peneliti hukum ICW Donal Fariz menilai, pemberian remisi khusus pada Lebaran menambah daftar panjang kesalahan yang dibuat pemerintah.
''Kalau pemerintah ngotot memberikan remisi khusus bagi koruptor, mereka benar-benar melakukan kesalahan besar,'' ujar Donal ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (3/9).
Donal menuturkan, pemberian remisi tidak tepat di tengah maraknya kasus kejahatan korupsi. Menurut dia, pemerintah semestinya melakukan tindakan yang represif, bukan justru mengurangi hukuman bagi koruptor. ''Pemberian remisi tersebut bisa menyuburkan praktik-praktik korupsi,'' katanya.
Apalagi, lanjut dia, pemberian remisi tidak hanya mempertimbangan aspek normatif. Pemerintah juga perlu melihat dampaknya dari perspektif lebih luas. Dia menilai aspek kemanusiaan yang bisa dijadikan pertimbangan tidak memiliki ukuran jelas. ''Ukurannya abstrak sehingga sering ditafsirkan sepihak oleh kelompok-kelompok tertentu. Yang jelas, remisi ini sama sekali tidak memberikan efek jera bagi tahanan koruptor,'' tegasnya[9]









Kesimpulan
sebab hilangnya hak melaksanakan pidana ada tiga yakni:
a.       Meninggalnya terpidana
kematian sebagai dasar peniadaan penuntutan pidana, pada kematian sebagai dasar peniadaan pelaksanaan pidana berpijak pada sifat pribadi pertanggung jawab dalam hukum pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Orang yang harus menanggung akibat hukum dari tindak pidana yang dibuatnya adalah yang berbuat sendiri dan tidak pada orang lain. Setelah yang berbuat yang harus memikul segala akibat hukum itu meninggal dunia, maka secara praktis pidana tidak dapat dijalankan.
b.      Sebab kadaluarsa
Pasal 84 ayat (1) menyatakan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus karena kadaluarsa”. Ketentuan ini juga berarti kewaiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setelah lewatnya waktu tertentu, ketentuan lewatnya waktu tertentu yang menyebabkan hapusnya kewenangan negara untuk menjalankan pidana ini berlatar belakang pada kepastian hukum baik bagi terpidana maupun bagi negara

c.       Sebab pemberian grasi
Hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana oleh sebab grasi ditentukan oleh pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yang rumusan lengkapnya (setelah amandemen) ialah “presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan mahkamah agung”.
Dalam hal pemberian grasi presiden memutuskan:
a)      Meniadakan pelaksanaan seluruh pidana yang dijatuhkan dalam putusan pengadilan;
b)      Melaksanakan sebagian saja dari pidana yang dijatuhkan dalam putusan;
c)      Mengubah jenis pidana (komutasi) yang telah dijatuhkan dalam putusan menjadi pidana yang lebih ringan baik dalam jenis pidana pokok yang sama (misalnya pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 10 tahun) maupun jenis pidana pokok yang berbeda (misalnya pidana mati diubah menjadi pidana 15 tahun)
Prinsip dasar pemberian grasi ialah diberikan pada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan mengajukan grasi berarti dari sudut hukum pemohon telah dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan permohonan ampun (grasi) berarti dia telah mengakui akan kesalahannya, dia tidak perlu mengajukan grasi, tetapi dia dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
Undang-undang tidak secara eksplisit merinci alasan-alasan diberikannya grasi. ULTRECHT menyebutkan 4 alasan pemberian grasi, yaitu:
e.       Kepentingan keluarga dari terpidana
f.       Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat
g.      Terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
h.      Terpidana berkelakuan baik selama berada di lembaga permasyarakatan dan memperlihatkan keisyafan atas kesalahannya

















Daftar pustaka
Chamzawi, Adami. Pelajaran hukum pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Farid, Zainal Abidin. Hukum pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas hukum pidana di indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2008.
Jawa pos, edisi sabtu 4 september 2010
http//www.tempo.com/dinilai-kadaluarsa-terdakwa-kasus-pidana-pemilu-dibebaskan/, diakses 7 desember 2013
http//www.compas.com/napi-kasus-pembunuhan-tewas-di-lapas-sukamiskin/, diakses tanggal 07 desember 2013.





[1] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), hlm 167
[2] Adam chamzawi, pelajaran hukum pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm187
[3] Putra Prima Perdana,”Napi kasus pembunuhan tewas di lapas sukamiskin”, http//www.compas.com/napi-kasus-pembunuhan-tewas-di-lapas-sukamiskin/, diakses tanggal 07 desember 2013.
[4] Adam chamzawi, pelajaran hukum pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm191

[5] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di indonesia, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2008), hlm 169
[6] Mahbub Djunaidi,”Dinilai Kadaluarsa,”Terdakwa Kasus Pidana Pemilu Dibebaskan”, http//www.tempo.com/dinilai-kadaluarsa-terdakwa-kasus-pidana-pemilu-dibebaskan/, diakses 7 desember 2013.
[7] Adam chamzawi, pelajaran hukum pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm192

[8] Adam chamzawi, pelajaran hukum pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm196

[9] Beri remisi dan grasi narapidana saat idul fitri”, Jawa Pos, sabtu, 4 september 2010, hlm 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot