MAKALAH PENGERTIAN HAK ASUH ANAK DALAM PERNIKAHAN (MAKALAH ) - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Rabu, 27 Januari 2016

MAKALAH PENGERTIAN HAK ASUH ANAK DALAM PERNIKAHAN (MAKALAH )





Kata Hadhanah berasal dari kata “Hidhan”, artinya: lambung. Dan seperti kata: Hadhanah ath-thairu baidhahu, artinya burung itu mengempit telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengempit anaknya.
Para ahli fiqh mendefinisikan “hadhanah” ialah: melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib. Sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.[1] Mengasuh anak juga berarti mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Berusaha untuk mendidik anak termasuk sesuatu yang sangat dianjurkan oleh agam dan diutamakan, karena anak merupakan sambungan hidup dari orang tuanya. Cita-cita atau usaha-usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan, diharapkan agar anaknya nanti akan melanjutkannya. Anak yang shaleh merupakan amal orang tuanya. Hanya do’a anak yang shalehlah yang dapat meringankan orang tua yang telah meninggal dunia dari siksaan Allah, sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah SAW. Dalam hadits beliau:
اِذَامَاتَ اْلإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَمَلِهِ إِلَّامِنْ ثَلاَثٍ:مِنْ وَلَدٍصَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ أِوْصَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْفَعُ بِهِ (رواه مسلم)
Artinya:
“Apabila seorang manusia telah meninggal, putuslah (pahala) amalnya, kecuali dari tiga perkara: dari anak yang shaleh yang mendo’akannya atau shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat” (HR. Muslim)
Dan firman Allah SWT:
$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim: 6)

Yang dimaksud dengan memelihara dalam ayat tersebut di atas ialah mendidik mereka sehingga menjadi seorang muslim yang berguna bagi agama. Ayat ini memerintahkan agar semua kaum muslimin berusaha agar mendidik keluarganya.[2]
Hadhanah merupakan kewajiban bersama, akan tetapi jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayah, maka ibulah yang lebih berhak terhadap anak itu daripada ayahnya, selama tidak ada suatu alasan yang mencegah ibu melakukan pekerjaan hadhanah tersebut, atau karena anak telah mampu memilih apakah mau ikut ibu atau bapak.  Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي, وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
Artinya:
“Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim)

Seorang hadhinah (Ibu) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu kecakapan dan kecukupan. Kecukupan dan kecakapan juga memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.
Syarat-syaratnya itu ialah:
  1. Berakal Sehat, jadi bagi orang yag kurang akal seperti gila, keduanya tidak boleh menangani Hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, sebab itu ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang punya apa-apa tentulah ia tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada orang lain.
  2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun Mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya, karena itu dia tidak boleh menangani urusan orang lain.
  3. Mampu Mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri juga perlu diurus oleh orang lain.
  4. Amanah dan Berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti orang yang curang itu.
  5. Islam, anak Muslim tidak boleh diasuh oleh orang yang bukan Muslim, sebab hadhanan adalah masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan orang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam surat Annisa’ ayat 141:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
Artinya:
“… dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang orang kafir menguasai orang orang mukmin. (QS. Annisa’: 141)

  1.  Ibunya tidak kawin lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah di atas:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
Artinya:
“Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim)

  1. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya, sehingga ia tidak punya kesempatan untuk mengasuh anak kecil.[3]

  1. Memberi Nafkah dalam Pernikahan
    1. Kewajiban Nafkah
Kaum Muslimin sepakat bahwa, perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah. Nafkah atas istri ditetapkan nashnya dalam surat berikut ini:
4 ’n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%ø—Í‘ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèó™ãr 4 Ÿw §‘!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 ’n?tãur Ï^Í‘#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÇËÌÌÈ
Artinya:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. (QS. Al-Baqarah:233)
Yang dimaksud para ibu di situ adalah istri-istri, sedangkan yang dimaksud dengan ayah adalah suami-suami.[4]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah keluarga. Dan nafkah wajib atas suami semenjak akad perkawinan dilakukan.
Keberadaan nafkah tentunya sangat penting dalam membangun keluarga. Jika dalam keluarga nafkah tidak terpenuhi, baik itu nafkah untuk isteri maupun anak-anaknya, dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakberhasilan dalam membina keluarga.
Kata nafkah di atas sendiri adalah merupakan kata yang berasal dari bahasa arab yaitu nafakah yang berarti “belanja”, “kebutuhan pokok”. Maksudnya ialah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.
Sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa yang termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan pokok itu ialah: pangan, sandang dan tempat tinggal, sedang ahli fiqh yang lain berpendapat bahwa kebutuhan pokok itu hanyalah pangan saja. Mengingat banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anggota-anggota keluarga , maka dari kedua pendapat tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa yang merupakan kebutuhan pokok yang minimum itu, ialah pangan, sedang kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan dengan kemampuan dari orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.[5]
  1. Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
  1. Nafkah lahir, yaitu nafkah bersifat materi seperti sandang, pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak
  2. Nafkah batin, nafkah yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain.
  3. Syarat-syarat Nafkah
Syarat bagi seorang perempuan berhak menerima nafkah adalah sbb:
  1. Ikatan perkawinan sah
  2. Menyerahkan dirinya kepada suami
  3. Suaminya dapat menikmati dirinya
  4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya
  5. Kedua-duanya saling dapat menikmati.
Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak wajib diberi belanja.[6] Sedangkan dalam kaitannya ayah menafkahi anak atau dengan kata lain anak di nafkahi ayah, yaitu dengan syarat:
  1. anak dalam keadaan miskin dan tidak mampu bekerja,atau anak yang tidak mempunyai pekerjaan. Hal ini Nampak dalam dua keadaan: pertama, anak-anak tersebut masih kecil, dan kedua, anak-anak tersebut sudah besar tetapi tidak mempunyai pekerjaan atau karena mereka itu anak perempuan.
  2. Hendaklah si ayah dalam keadaan kaya yang mampu memberi nafkah.[7]
  1. Akibat Dari Putusnya Perknikahan
Akibat positif yang bisa didapatkan dari perceraian (putusnya pernikahan) adalah terselesainya satu masalah rumah tangga yang tak bisa dikompromikan lagi. Akan tetapi dampak negatif dari perceraian akan lebih banyak, seperti:
  1. Akibat Perceraian Bagi Suami Istri
    1. Perceraian sering menimbulkan tekanan batin bagi tiap pasangan tersebut, seperti stres dan despresi. Keadaan ini tidak menguntunggakan untuk kehidupan dia dalam hal pergaulan ataupun pekerjaan.
    2. Meranggangkan hubungan silaturahmi diantara keduanya, apalagi kalau perceraiannya karena permusuhan.
    3. Perceraian membuat trauma pada pasangan yang bercerai tersebut sehingga tidak ingin menikah lagi.
    4. Akibat Perceraian Bagi Anak
Anak-anak yang terlahir dari pernikahan mereka juga bisa merasakan sedih bila orangtua mereka bercerai. Bahkan bisa dikatakan korban yang paling parah dari perceraian adalah anak. Anak bisa mengalami despresi, stres dan tertekan, anak juga bisa menjadi sangat membenci orang tuanya, terjebak ke pergaulan bebas, atau anak akan menjadi takut menikah karena melihat kegagalan orang tuanya. Dan masih banyak lagi akibat dari perceraian.
Selain itu akibat dari putusnya perkawinan menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ialah:
  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu dapat memikul biaya tersebut.
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk menghidupkan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.[8]
IV. ANALISIS
Selain terhadap harta perkawinan yang didasarkan hukum Islam juga memberi akibat terhadap anak-anak yaitu siapa yang memegang hak asuh anak setelah kedua orang tuanya bercerai. Dalam kasus percerain, persoalan hak asuh anak merupakan masalah yang sering menjadi pangkal sengketa diantara suami-istri yang bercerai.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, pada prinsipnya jika terjadi perceraian maka hak asuh jatuh ke tangan ibunya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ibu yang mengandung selama sembilan bulan dan ibu pula yang menyusui anak tersebut. Kedekatan antara ibu dan anak tentunya bukan hanya kedekatan lahiriyah semata melainkan juga kedekatan batiniyah.
Namun meskipun pada prinsipnya hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya, kompilasi hukum islam masih memberi kesempatan kepada si anak untuk memilih antara ikut ayah atau ibunya. Pilihan itu diberikan kepada anak yang telah mumayyiz, yaitu seorang anak yang telah berusia 12 tahun. Seorang anak yang telah berusia 12 tahun oleh hukum dianggap telah dapat menentukan pilihannya sendiri ketika kedua orang tuanya bercerai, yaitu mengikuti ayah atau ibunya.
Pelaksanaan hak asuh anak, baik oleh ibu ataupun ayahnya harus disertai jaminan keselamatan jasmani dan rohani si anak meskipun biaya kehidupan si anak telah terjamin. Apabila memegang hak asuh anak, baik ayah maupun ibunya ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka kerabat yang bersangkutan dapat meminta kepada pengadilan agama untuk memindahkan hak asuh anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh. Dan siapaun yang memegang hak asuh, semua biaya hak asuh dan nafkah anak merupakan tanggung jawab ayahnya. Tangggung jawab tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya dan berlangsung sampai anak mencapai dewasa (21 tahun).
  1. KESIMPULAN
Hadhanah ialah: melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Syarat bagi seorang perempuan berhak menerima nafkah adalah sbb:
  1. Ikatan perkawinan sah
  2. Menyerahkan dirinya kepada suami
  3. Suaminya dapat menikmati dirinya
  4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya
  5. Kedua-duanya saling dapat menikmati.
Dampak positif yang bisa didapatkan dari perceraian adalah terselesainya satu masalah rumah tangga yang tak bisa dikompromikan lagi. Akan tetapi dampak negatif dari perceraian akan lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Hamidy, Mu’ammal, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya dalam Islam,Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1984
Masykur A.B., Fiqih Lima Madzhab, Terj. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta: Lentera, 2007
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang 1974
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang 1974
Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 7, Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980
___________, Fikih Sunnah vol. 8, Bandung: PT Alma’arif, 1980
3.11.12, 13.18



[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah vol. 8, (Bandung: PT Alma’arif, 1980), hlm. 173
[2] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1974), 129-130
[3] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 8, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm.,179-184
[4] Masykur A.B., Fiqih Lima Madzhab, Terj. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, (Jakarta: Lentera, 2007), hlm. 400
[5] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1974), 119-120
[6] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 7, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm., 80-81
[7] Mu’ammal Hamidy, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1984), hlm., 180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot