Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Minggu, 01 November 2015

MAKALAH PENGERTIAN PEMINANGAN, MAHAR DAN KAFA’AH DALAM PEMBELAJARAN FIQH MUNAKAHAT

November 01, 2015





A.      Peminangan
1. Pengertian Peminangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.[1]
Khitbah atau yang dalam bahasa melayu disebut "Peminangan". adalah bahasa arab yang secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Kata Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama' fikih mendifinisikannya dengan menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan ini Dan terdapat pula dalam ucapan Nabi sebagaimana terdapat dalam sabda beliau dalam hadits dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:
"Bila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikah maka lakukanlah".


Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat..
2.      Hukum Peminangan.
Dalam al-Qur'an dan hadits banyak Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al qur'an maupun dalam hadist nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatanya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu.
3.      Hikmah Disyari'atkan Peminangan
Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi al-Mughiroh bin al-Syu'bah menurut yang dikeluarkan al-Tirmizi dan al-Nasa'i yang berbunyi:
"Bahwa nabi berkata kepada seseorang yang telah meminag seseorang perempuan: "melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan".
4.      Syarat-Syarat Peminangan
a.        Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada pihak laki yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut. Adapun syarat-syarat dari mustasina itu sendiri sebagai berikut :
·         Wanita yang akan dipinang itu telah diteliti tentang keluarganya, akhlak dan agamanya
·         Wanita yang dipinang adalah wanita yang mempunyai keturunan dan mempunyai sifat kasih sayang.
·         Wanita yang dipinang itu mempunyai hubungan darah yang jauh dengan laki-laki yang meminang. Agama melarang seorang laki-laki menikahi seorang winita yang sangat dekat hubungan darahnya.
b.      Syarat Lazimah
Yang dimaksud dengan syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat lazimah tersebut. Yang termasuk dalam syarat lazimah antara lain :
·         Wanita yang tidak dalam pinangan orang lain atau sedang dalam pinangan akan tetapi orang yang meminangnya melepaskan hak pinangannya.
·         Wanita yang dipinang hendaklah wanita yang halal untuk dinikahi dalam artian wanita tersebut bukanlah menjadi mahram dari laki-laki yang meminangnya.
5.       Hukum melihat wanita yang akan dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan kepada hadits Rasulullah SAW. Berikut ini:
اِذَاخَطَبَ اَحَدُكُمْ اِمْرَأَةً فَلاَ جُنَاحُ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِذَا كَانَ اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَ اِنْ
          (تَعْلَمُ (رواه أحمد كَا نَتْ لاَ
Artinya:
Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak.”(Riwayat Ahmad).
Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat. Melihat calon istri untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sekaligus menghindari penyesalan setelah menikah. Mughirah bin Syu’ban telah meminang perempuan. Kemudian Rasulullah bertanya “ Apakah engkau telah melihatnya?” Mughirah menjawab “Belum”. Rasulullah saw bersabda:
اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى اَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَ (رواه النسا عى وابن ماجه والتر مذي(
Artinya:
Amat-amatilah perempuan itu, karena hal itu akan lebih membawa kepada kedamaian dan kedekatan kamu.” ( HR. Nasa’i, ibnu Majah dan Tarmidzi).
Mengenai batas-batas kebolehan melihat bagian tubuh wanita yang dipinang, para ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan dua telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikan wajahnya. Sedang menurut Abu Hanifah bahwa yang diperbolehkan adalah melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki.[2]
B.       Mahar
1.      Pengertian Mahar
Yang dimaksud dengan mahar adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, walaupun mahar ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah. Mahar dalam suatu pernikahan dianggap penting, karena selain memang diwajibkan oleh agama, ia juga merupakan tanda kesungguhan dan penghargaan dari pihak laki-laki sebagai calon suami kepada calon istrinya. Allah SWT berfirman:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Maskawin itu menjadi milik sepenuhnya si istri. Suami tidak mempunyai hak apapun atas harta maskawin itu. Sebagaimana juga tidak berhak atas harta benda si Istri. Apabila si istri merelakannya kepada suami hal itu tidak mengapa.
Cara pembayaran maskawin dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, pembayaran dilakukan secara tunai (cash) dan kedua pembayaran dilakukan di hari kemudian (utang, credit). Dalam kasus mahar yang dibayar di kemudian hari, mahar boleh disebutkan kuantitas dan kualitasnya dalam akad perkawinan, juga kuantitas dan kualitas boleh tidak disebutkan.
2.       Macam-Macam Mahar
Mahar dibagi dalam 2 macam:
a.  Mahar musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal akad nikah. Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan persetujuan kedua belah pihak.
b.  Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang diterima keluarga pihak isteri, karena pada waktu akad nikah jumlah dan bentuk mahar belum ditetapkan.
Pemberian mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Karena Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan adat yang berlaku di dalam masyarakat, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu yang mendatangkan mudharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.
Banyak hadits Nabi saw yang menerangkan aneka ragam bentuk mahar yang diberikan pihak laki-laki. Antara lain:
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخاري(
Nikahlah engkau walaupun (maharnya) berupa cincin dari besi.”( HR. Bukhari)
لَوْ اَنَّ رَجُلاً اَعْطَى اِمْرَأَةً صَدَاقًا مِلْءَ يَدَيْهِ طَعَامًا كَا نَتْ لَهُ حَلاَلاً  (رواه احمد و ابوداود(
Seandainya seorang laki-laki memberikan makanan sepenuh tangannya saja sebagai mahar seorang perempuan, maka perempuan itu halal baginya.”(HR. Ahmad dan Abu Daud).
3.      Adapun syarat-syarat mahar ialah
1.      Benda yang suci, atau pekerjaaan yang bermanfaat.
2.      Milik suami.
3.      Ada manfaatnya.
4.      Sanggup menyerahkan, mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampasorang dan tidak sanggup menyerahkannya.
5.      Dapat diketahui sifat dan jumlahnya.

C.      Kafa’ah

1.      Pengertian Kafa’ah
Menurut bahasa kafa’ah berarti serupa, seimbang atau serasi. Menurut istilah adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami baik dalam kedudukan, status sosial, akhlak maupun kekayaannya sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.
Kalau kita melihat pada Alquran ditinjau dari segi insaniyahnya, manusia itu sama seperti tersebut pada surat Al-Hujarat ayat 13:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ 
Artinya:
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kafa’ah dalam pernikahan
a.         Menurut ibnu Hazm kafa’ah tidak dijadikan pertimbangan dalam melangsungkan pernikahan. Muslim mana pun selama bukan pezina berhak menikah dengan muslimah manapun selama bukan pezinah.
b.         Menurut Mahdzab Malikiyah beranggapan bahwa kafa’ah harus dijadikan pertimbangan dalam pernikahan. Yang dimaksud kafa’ah disini menurut Malikiyah ialah untuk istiqamah dalam menjalankan ajaran agama dan akhlak. Unsur-unsur lainnya, seperti kekayaan, keturunan, dan sebagainya tidak dijadikan pertimbangan.
c.          Menurut jumhur ulama bahwa kafa’ah dalam pernikahan sangat penting. Unsur kafa’ah tidak hanya terbatas pada istiqamah dan akhlak, tetapi juga kafa’ah dalam unsur nasab, kemerdekaan, usaha, kekayaan dan kesejahteraan.

2.      Ukuran-ukuran kafa’ah
a.       Dilihat dari segi agama
Orang Islam yang kawin dengan orang yang bukan Islam dianggap tidak sekufu, yakni tidak sepadan.
b.      Dilihat dari segi Iffah
 Iffah artinya terpelihara dari segala yang haram dalam pergaulan. Maka bukan dianggap kufu bagi orang yang dari keturunan baik-baik, kawin dengan orang yang dari keturunan penzina, walaupun masih seagama. Sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. AN-Nur ayat 2.


èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ  

Artinya: “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setelah membaca makalah tentang peminangan dan kafa’ah ini, ada beberapa poin penting yang dapat kita ambil. Setidaknya adalah sebagai berikut:
• Peminangan adalah proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki dan perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun secara langsung dan hukumnya mengubah menurut kebanyakan pendapat ulama.
• Hikmah dari pinangan adalah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai kehidupan baru dengan menikah.
• Peminangan ada dua macam, secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung keadaan orang yang dipinang.
Mahar adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, Kufu berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam akhlak serta kekayaan.






DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman.  2009. Fiqih Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Zainudin, Djedjen dan Mundzier Suparta.  2007. Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI. Semarang: Karya Toha Putra .
Mubarak. Jaih. 2002. Modifikasi Hukum Islam studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sobari, Asep, dkk. 2008. Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid II. Jakarta: Al-I’Ishom






[1]Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hal. 380.
[2]Djedjen  Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah,  hal. 53.
Read More

Makalah Gugatan Cerai Istri Akibat Suami Berpoligami

November 01, 2015
094
A.    Pengertian Menggugat cerai
Menggugat cerai dalam bahasa arab yaitu Khulu’, Khulu’ terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkannya kata khulu’ dengan perkawinan karena dalam Al-Qur’an disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya dalam surat al-baqarah (2) ayat 187
هُنّ لِبَاسُ لَكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسُ لَهُنّ
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.

Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. Menurut fuqaha, khulu’ secara  umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’mubara’ah maupun talak. Secara khusus, yaitu talak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah.
B.     Dasar Hukum Menggugat Cerai Suami
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa hukum menggugat cerai suami itu mempunyai dua hukum tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum dimaksud adalah:
1.      Mubah
Hukumnya menurut Jumhur Ulama adalah boleh atau mubah. Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan gugatan cerai manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an dan terdapat pula dalam hadist Nabi:

Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya"

Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).




2.       Haram.
Khulu'  bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
a.       Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan gugatan cerai. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:

Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).

عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:(أيما امرأة سألت زوجها طلاقا فى غير ما بأس, فحرام عليها رائحة الجنة) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد]
Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surga" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

b.      Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًاۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ
 مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن   شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيْهِ خَيْراً كَثيْراً تَكْرَهُواُ
Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).

Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.

C.    Gugatan Cerai Istri Akibat Suami Berpoligami
Gugatan cerai akibat suami berpoligami merupakan permasalahan yang sering terjadi di dalam sebuah pernikahan. Hal ini dikarenakan poligami itu merupakan sebuah perbuatan yang harus dilandaskan dengan sebuah tanggung jawab yang besar oleh suami. Karena apa bila suami berpoligami akan tetap tidak sanggup untuk me-menuhi tanggung jawabnya maka haram baginya untuk berpoligami
Seorang istri dalam sebuah hubungan pernikahan selalu mengharapkan keba-hagian dari suaminya. Ketika dia tidak mendapatkan kebahagian itu bahkan semakin tersiksa, maka dia dibolehkan untuk menggugat cerai suaminya.
Dalam hal ini, seorang istri boleh menggugat cerai suaminya apabila:
1.      Suami tidak memberikan nafkah yang layak baginya[1].
2.      Suami tidak bertanggung jawab menjaga perasaan istri yang satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan rasa cemburu yang menyiksanya.
3.      Suami tidak memberitahukan istri ketika hendak berpoligami.
4.      Suami melakukan tindak kekerasan terhadap istri (baik istri pertama maupun kedua)
5.      Suami terlalu cenderung kepada salah satu istri sehingga yang lainya terkantung-kantung

D.    Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan ka-ta Poli atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti ka-win atau perkawinan. Maka poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Poligami adalah, perkawinan dengan dua orang pere-mpuan atau lebih dalam waktu yang sama.
Jauh sebelum Islam datang, peradaban manusia di berbagai belahan dunia sudah mengenal poligami. Nabi Ibrahim as beristri Siti Sarah dan Siti Hajar, Nabi Ya’qub  as beristri Rahel dan lea. Kemudian, pada bangsa Arab sebelum Islam kegiatan poligami sudah sering dilakukan. Akan tetapi, ketika Islam datang, Islam membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Islam memberi arahan untuk berpoligami yang berkeadilan dan sejahtera.  
Islam tidak memajibkan suami untuk berpoligami akan tetapi hukum poligami dalam islam yaitu mubah. Al-Quran sudah meneagaskan apabila tidak mampu berlaku adil, maka kita dilarang untuk berpoligami. Keadilan merupakan hal yang terpenting dimiliki suami sebelum berpoligami. Karena banyak sekali gugatan cerai istri kepada suami yang berpoligami dikarenakan tidak mampu berlaku adil[2].  



Firman Allah SWT :

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan kamu tidak mampu berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. An-Nisa’: 129
Dari firman tersebut dapat disimpulkan bahwa, Al-Quran sangat menegaskan keadilan dari suami yang hendak berpoligami agar dapat membangun sebuah keluarga yang sejahtera.

E.     Faktor-Faktor Suami Berpoligami
Banyak faktor yang membuat seorang lelaki menikah lebih dari satu atau ber-poligami. Dalam kasusnya, poligami sering dilakukan karena ada hal-hal yang diinginkan suami akan tetapi tidak tercapai oleh karena itu, suami menikah untuk kedua kalinya tanpa memutuskan hubungan pernikahan dengan istri yang pertama. Berikut faktor-faktor yang melatarbelakangi suami berpoligami
Cara-cara menhindari penggugatan cerai istri antaralain:
1.      Tidak mampunya seorang istri memenu kewajibannya sebagai istri.
2.      Adanya penyakit yang diderita istri sehingga istri tidak mampu memenuhi kebutuhan batin suami.
3.      Seorang istri tidak mampu memberikan keturunan kepadanya.
4.      Tidak memiliki keturunan laki-laki dari isrti pertama.






Read More

MAKALAH PERWALIAN (KURATEL) ANAK KECIL, ORANG GILA DAN SAFIH

November 01, 2015
1.      Pengertian Wali
Perwalian dalam arti umum yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wali. Dan wali mempunyai banyak arti, antara lain:
a.       Wali adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa.
b.      Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
c.       Wali adalah orang shaleh (suci), penyebar agama.
d.      Wali adalah kepala pemerintah.
Adapun yang dimaksud dengan perwalian disini yaitu pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan hartanya. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, pemeliharaan dan pengawasan harta itu bukan hanya untuk anak yatim saja, tetapi juga berlaku untuk orang gila, anak yang masih kecil, dan safih.
2.      Wali Anak Kecil, Orang Gila, dan Safih
Ø  Wali Anak Kecil
Dalam suatu perkawinan, antara suami dan istri pasti memiliki anak-anak. Orang tuanyalah yang wajib mengatur serta mengurus kepentingan anak-anaknya serta wajib melindungi kepentingan  anak  tersebut. Perwalian terhadap anak ada 3 macam, yaitu:
a.       Perwalian terhadap urusan mengasuh anak.
b.      Perwalian terhadap dirinya.
c.       Perwalian terhadap hak miliknya.
Perwalian itu sendiri timbul apabila orang tuanya tidak sanggup untuk mengurus kepentingan si anak.
Dalam KUHP, latar belakang tentang pengaturan perwalian adalah agar kepentingan si anak yang berada dibawah perwalian tidak dirugikan atau memperoleh jaminan yang cukup dari walinya, terutama perihal pemeliharaan diri dan pengurusan harta bendanya.
Perwalian menurut UU Perkawinan mencakup pribadi maupun harta benda si anak. Perwalian ini terjadi mungkin disebabkan karena orang tuanya tidak mampu, orang tua bercerai dan mungkin disebabkan karena orang tuanya meninggal dunia dan apabila orang tua masih sanggup tidak mungkin ada perwalian.
Para ulama madzhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian. Selanjutnya, para ulama madzhab berbeda pendapat tentang wali yang bukan ayah. Hambali dan Maliki mengatakan bahwa wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Apabila ayah tidak menerima orang yang diwasiati, maka perwalian jatuh kepada hakim syar’i. Sedangkan kakek sama sekali tidak punya hak dalam perwalian, sebab kakek menurut mereka tidak bisa mempunyai posisi ayah.
Hanafi mengatakan bahwa wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Sesudah itu, kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat darinya, dan kalau tidak ada maka perwalian jatuh ke tangan qadhi (hakim).
Syafi’i mengatakan bahwa perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dan dari kakek kepada orang yang menerima wasiat dari ayah. Seterusnya kepada penerima wasiat kakek, dan sesudah itu kepada qadhi.
Imamiyah mengatakan bahwa perwalian pertama berada di tangan ayah dan kakek (dari pihak ayah) dalam derajat yang sama, dimana masing-masing mereka berdua berhak bertindak sebagai wali secara mandiri tanpa terikat yang lain.
Ø  Wali Orang Gila
Hukum orang gila persis dengan anak kecil, dan dikalangan ulama madzhab terdapat kesamaan pendapat dalam hal ini, baik orang tersebut gila sejak kecil maupun sesudah baligh dan mengerti. Berbeda dari pendapat di atas, yaitu pendapat dari segolongan madzhab imamiyah. Mereka membedakan antara orang gila sejak kecil dengan orang-orang yang gila ketika mereka menginjak usia dewasa. Para ulama madzhab imamiyah ini mengatakan bahwa perwalian ayah dan kakek berlaku atas orang gila sejak kecil, sedangkan orang gila yang sesudah baligh perwaliannya berada di tangan hakim.
Ø  Wali Safih
Imamiyah, Hambali dan Hanafi sepakat bahwa apabila seorang anak kecil telah menginjak baligh dalam keadaan mengerti lalu terkena kesafihan (idiot), maka perwaliannya berada di tangan hakim, tidak pada ayah dan kakek, apalagi pada orang-orang yang menerima wasiat dari mereka berdua.
3.      Syarat-Syarat Wali
Ulama fiqh mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat dijadikan wali. Di antara syarat-syaratnya adalah:
Ø  Baligh dan berakal, serta cakap bertindak hukum. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, orang mabuk dan orang dungu tidak bisa dijadikan sebagai wali.
Ø  Agama wali sama dengan agama orang yang diampunya, karena perwalian muslim kepada non muslim tidak sah.
Ø  Adil, dalam artian istiqamah dalam agamanya, berakhlak baik dan senantiasa memelihara kepribadiannya.
Ø  Wali mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara amanah, karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang diampunya. Apabila orang itu lemah dalam memegang amanah, maka tidak sah menjadi wali. Firman Allah swt. dalam surat al-An’am ayat 152 yang artinya “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat”.
Para ulama madzhab sepakat bahwa tindakan-tindakan hukum yang dilakukan wali dalam harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang hal itu baik dan bermanfaat, tetapi juga tidak mudharat. Sebagian ulama Imamiyah mengatakan bahwa hal itu dibenarkan manakala yang melakukannya adalah ayah atau kakek. Sebab yang disyaratkan di situ adalah bahwa tindakan tidak merusak dan bukan harus membawa maslahat. Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh hakim atau orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali, dibatasi pada tindakan-tindakan yang membawa manfaat saja. Bahkan sebagian ulama madzhab Imamiyah tersebut mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh ayah dinyatakan tetap berlaku, sekalipun membawa mafsadat dan madharat bagi si anak kecil.
Madzhab selain Imamiyah mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara ayah, kakek dan hakim serta orang yang diberi wasiat, dimana tindakan yang mereka lakukan tidak dipandang sah kecuali bila membawa manfaat. Pandangan serupa ini juga dianut oleh banyak ulama madzhab Imamiyah. Berdasarkan itu, maka wali boleh berdagang dengan menggunakan harta anak kecil, orang gila dan safih, atau menyerahkannya sebagai modal bagi orang yang berdagang dengannya.

Mengenai perwalian ini, kompilasi hukum Islam memperincinya sebagai berikut:
Pasal 27
Ø  Perwalian hanya kepada anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan pernikahan.
Ø  Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
Ø  Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
Ø  Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
Ø  Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Ø  Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
Ø  Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 111
Ø  Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
Ø  Apabila perwalian telah berakhir, maka pengadilan agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat menggunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf apabila wali itu fakir.















KESIMPULAN
Perwalian adalah berpindahnya hak asuh orang tua kepada orang lain baik saudara maupun orang yang dipercayainya untuk mengurus anak kecil, orang gila dan anak safih yang disebabkan oleh perceraian, meninggal dunia ataupun orang tua tidak sanggup dalam mengurusinya.
Para ulama madzhab sepakat bahwa wali dan orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali dipersyaratkan harus baligh, mengerti dan seagama, dan juga adil.
















DAFTAR PUSTAKA
Abidin Slamet, dkk. Fiqh Munakahat. Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh Ala’ Al-Madzahib Al-Arba’ah. Beirut : Dar Al-Fikr, 2004.
Ghozali, Abdurrahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Kamal, Mukhtar. Asas-Asas Hukum Islam. Bandung: Bulan Bintang, 1992.


Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot