Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Minggu, 07 Februari 2016

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI (AKHLAQI) DAN FALSAFI

Februari 07, 2016 0




Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku; ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering di sebut sebagai tasawuf Salafi. Tasawuf Akhlaki, tasawuf Sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, disamping sebagai sufi.

Pembagian dua jenis tasawuf di atas didasarkan atas kecendrunganajaran yang dikembangkan, yakni kecendrungan pada pemikiran. Dua kecendrungan ini terus berkembang hingga masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri, untuk melihat perkembangan tasawuf ke arah yang berbeda ini, perlu dilihat lebih jauh tentang gerak sejarah perkembangannya.

A.    SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI (AKHLAQI) DAN FALSAFI
1.      Pengertian Tasawuf
Tasawuf pada prinsipnya adalah ilmu yang mempelajari usaha untuk membersihkan diri berjuang menahan hawa nafsu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
a.       Tasawuf Salafi (Akhlaqi)
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’ ulama sufi.[1]

Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:

1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.

2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.

3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[2]
b.      Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.[3]

2.      Sejarah Perkembangan Tasawuf
a.       Abad I-II H
Disebut pula dengan fase asketisme (zuhud). Pada fase ini terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah Al-Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid.
b.      Abad ke III H
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih menekankan perilaku manusia yang terpuji.
c.       Abad ke IV H
Abad ini di tandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat di bandingkan dengan pada abad ke tiga hijriah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf  untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya, kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa iu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdad. Bahkan, penulisan kitab-kitab tasawuf disana mulai bermunculan, misalnya Qutubul Qultib Fi Mu’amalatil Mahbub, yang dikarang oleh Abu Thalib Al-Makky.
d.      Abad ke V H
Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.

e.       Abad ke VI H
Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).[4]
B.     Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Konsepnya
a.       Tokoh-tokoh tasawuf Salafi (Akhlaqi)
·         Hasan Al-Basri (21 H – 110 H)
Konsep tasawuf Hasan al-Basri adalah raja’ dan khauf yaitu, anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
·         Al-Muhasibi (165 H – 243 H)
Konsep tasawuf Al-Muhasibi adalah makrifat yaitu harus di tempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Khauf dan raja’ yaitu pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Wara’ yaitu ketakwaan.
·         Al-Qusyairi (376 H – 465 H)
Konsep tasawuf Al-Qusyairi adalah doktrin Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu tauhid merupakan pemisah hal yang lama dengan hal yang baru, landasan doktrin-doktrin mereka pun di dasarkan pada dalil dan bukti serta gamblang.
·         Al- Ghazali
Konsep tasawuf Al-Ghazali adalah doktrin Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu menjauhkan semua kecenderungan gnotis yang memengaruhi para filosof islam, sekte isma’iliyyah, aliran syiah, ikhwan ash-shafa dan menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles seperti emanasi dan penyatuan sehingga tasawuf al-ghazali benar-benar bercorak islam dan lebih mengutamakan pendidikan moral. Makrifat yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. As-sa’adah yaitu kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah kebahagiaan itu sesuai dengan watak sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya.[5]
b.      Tokoh-tokoh tasawuf falsafi
·         Ibnu’ Arabi (560 H – 638 H)
Konsep tasawuf Ibn ‘Arabi adalah wahdat al wujud yaitu wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Haqiqah muhammadiyah yaitu sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya. Wahdatul Adyan yaitu kesamaan agama, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah.
·         Al-Jili (767 H – 805 H)
Konsep tasawuf Al-Jili adalah insane kamil yaitu manusia sempurna, bahwa perumpamaan hubungan tuhan dengan insane kamil adalah bagaikan cermin dimana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya, kecuali melalui cermin itu. Maqamat al-martabah yaitu maqam yang harus di lalui seorang sufi yang menurutnya di sebut al-martabah (jenjang atau tingkat) tingkat-tingkat itu adalah: islam, iman, shalah, ihsan, syahadah, shiddiqiyah, qurbah.
·          Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H)
Konsep Ibn Sab’in adalah kesatuan mutlak yaitu wujud Allah semata, asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Penolakan terhadap logika aristoteles yaitu realitas-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah dan keenam kata logika (genus, species, difference, proper, accident, person) yang member kesan adanya wujud yang jamak sekedar ilusi belaka.[6]



      





BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Sejarah perkembangan tasawuf terbagi kepada tiga aliran Tasawuf, aliran pertama adalah aliran Tasawuf Salafi [Akhlaqi], aliran kedua adalah aliran tasawuf Falsafi, dan aliran ketiga adalah aliran Tasawuf Syi’i. Tasawuf aliran pertama mengalami Bereberapa fase yakni Pada abad kesatu dan kedua hijriyah disebut dengan fase asketisme [Zuhud], Abad ketiga hijriyah fase terlihatnya perkembangan tasawuf yang pesat, Abad keempat hijriyah fase kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan abad ketiga hijriyah, Abad kelima hijriyah fase kemunculan imam Al-Ghazali, fase yang cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikan ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan Abad keenam hijriyah fase pengaruh tasawuf Sunni semakin luas ke seluruh pelosok dunia Islam. Aliran kedua yakni aliran Tasawuf Falsafi disebut pula dengan Tasawuf nazhari, yakni tasawuf yang ajaran-ajarannya memedukan antara visi mistis dan visi rasional sedbagai pengasasnya. Dan Aliran ketiga yakni aliran Tasawuf Syi’iatau Syi’ah didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan Tuhan.
B. SARAN
Setelah penjelasan dalam makalah ini, sebagai manusia biasa penulis memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penjabaran masalah atau penyimpangan-penyimpangannya. Penulis menerima saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA
Anwar ,Rosihan.Solihin, Mukhtar. 2006.Ilmu Tasawuf.Bandung:CV PUSTAKA SETIA
Sireger,Rivay.2002.Tasawuf. Jakarta:Rajawali après
Hamka.1986.Tasawuf Perkembangan dan pemurniaanya.Jakarta: PT.CITRA SERUMPUN PADI
Nata,Abudin. 2003.Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada








[1]Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, At-Tashawwuf Al-islam, hlm, 140. Dan  Abdul Azis Dahlan, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis, dalam jurnal ulumul qur’an, vol. ll, 1991/1411 H. , L-Saf, Jakarta, hlm. 28-32

[2] Rosihon Anwar, amukhtar Solihin, ilmu Tasawuf. h.56-58
[3] Taftazani, op.cit., h. 188
[4] Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, pustaka setia, Bandung, 2008, hlm. 62-67
[5] Ibid, hlm. 123-144
[6] Ibid, hlm. 175-201
Read More

MAKALAH SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QUR’AN

Februari 07, 2016 0



C.Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Nabi


Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap kedatangan wahyu tidak sengaja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara :
  1. Pertama, al Jam’u fis Sudur.

  1. Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
  1. Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
  1. Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kmbalidihadapan Nabi Muhmmad SAW pada saat-saat terakhir,
  1. Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan mushafnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman bin ‘Affan.
  1. Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
  1. Semua yang bukan mushaf Al-Qur’an dihilangkan.Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.

Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti dijanjikan Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat 17, sebagai berikut :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai ralisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabt langsung menghafalnya diluar kepala.
2.    Kedua, al Jam’u fis Suthur.
Selain di hafal, Rasulullah juga mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat tersebutdalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati.
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
.
 D. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Khulafaurrasyidin
Sepeningal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al Quran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad dan juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid.  Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan perang. Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.
Namun pada awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin Khattab. Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya. Tetapi Umar bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya, dan akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah Abu Bakar dengan alas an yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit pun setuju.





     2.   Pada Masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
 Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman.
Inisiatif ‘Utsman bin ‘Affan untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islamsaling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan diantara mereka.
‘Utsman bin ‘Affan memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:



3.  Pada Masa Setelah Khulafa’ur Rasyidin.
Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.).











    E. Penyempurnaan Pemeliharaan Al-Quran Setelah Masa   Khalifah
Mushaf yang ditulis pada masa Utsman tidak memiliki berharakat dan tanda titik. Setelah umat Islam bertambah banyak mereka kesulitan dalam membaca. Maka pada masa Khalifah ‘Abdul Malik(685-705) dilakukan penyempurnaan. Dua orang yang berjasa adalah ‘Ubaidillah bin Ziyad (w 67H) dan Hajaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w 95h). Penyempurnaan dilakukan secara bertahap sampai abad 3 H (akhir abad 9 M). ada tiga orang yang disebut-sebut sebagai pemberi tanda titik pada mushaf Utsman, yaitu Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, Yahya bin Ya’mar (45-129 H) dan Nashr bin ‘Ashim Al-Laits (w 89 H). Yang meletakkan hamzah, tasydid, ar-raum dan Al-isymam adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farabi Al-Azdi.

Khalifah Al-Walid (86-96 H) memerintahkan Khalid bin Abi Al-Hyyaj untuk menulis mushaf Al-Quran. Tahun 1530 M pertama kali Al-Quran dicetak di Bunduqiyah, ketika dikeluarkan, penguasa gereja memerintahkan supaya Al-Quran dimusnahkan.
Tahun 1694 M dicetak kembali oleh orang Jerman bernama Hinkelman di Hamburgh (Jerman).
Tahun 1698 dicetak oleh Marracci di Padoue.
Tahun 1787 dicetak dengan label Islam oleh Maulaya ‘Utsman di Sain Petesbourg Uni Soviet (Rusia).
Tahun 1248H / 1828 M dicetak di Teheran Iran.
Tahun 1833 dicetak di Tabris.
Tahun 1834 di cetak di Leipzig Jerman.
Tahun 132 H / 1923 M di Negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus yang dipelopori para Syeikh Al-Azhar untuk penerbitan Al-Quran. Mushaf yang pertama terbit di Negara Arab ini sesuai dengan riwayat Hafsah atas qiraat ‘Ashim . setelah itu Al-Quran banyak dicetak di negara-negara lain.






Read More

TANDA-TANDA BALIGH BAGI ANAK LELAKI ATAU PEREMPUAN DIDALAM AL-QURAN DAN HADIST

Februari 07, 2016 0



Tanda-tanda baligh untuk laki-laki antara lain :
1.        Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya.
Dalilnya antara lain adalah :
a)        Firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ * وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum mencapai ”hulm” (ihtilaam) di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mere

ka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai ”hulm” (ihtilaam/usia baligh), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin”
[QS. An-Nuur : 59].
Segi pendalilan dari ayat ini adalah bahwa hulm (ihtilam) dijadikan batas kewajiban bagi seorang anak untuk meminta ijin di semua waktu ketika ia hendak memasuki kamar orang tuanya. Ini adalah asal hukum dalam minta ijin (yaitu minta ijin sebelum masuk). Berbeda halnya ketika ia belum mencapai hulm, maka ia hanya dibebankan meminta ijin di tiga waktu saja, dan tidak mengapa baginya jika ia masuk (tanpa ijin) di selain tiga waktu tersebut.
b)        Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ’anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda :
غسل يوم الجمعة على كل محتلم، وسواك، ويمس من الطيب ما قدر عليه
”Mandi pada hari Jum’at (sebelum menunaikan shalat Jum’at) adalah kewajiban bagi setiap orang yang telah ihtilam; demikian pula bersiwak dan memakai wewangian semampunya” [HR. Al-Bukhari no. 880 dan Muslim no. 846-7].
c)        Dari Ali (bin Abi Thaalib) ’alaihis-salaam, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih].
d)        Dari Mu’adz radliyallaahu ’anhu :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثه إلى اليمن وأمره أن يأخذ من كل حالم دينارا
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam mengutusnya ke Yaman dan memerintahnya untuk mengambil dari setiap orang yang telah ihtilam satu dinar” [HR. An-Nasa’i no. 2450, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 19155, dan Ahmad no. 21532; shahih].
Para ulama telah sepakat bahwa ihtilam merupakan tanda kedewasaan bagi anak laki-laki dan perempuan. Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقد أجمع العلماء على أن الاحتلام في الرجال والنساء يلزم به العبادات والحدود وسائر الأحكام
“Para ulama telah sepakat/ijma’ bahwasannya ihtilaam pada laki-laki dan perempuan mewajibkan dengannya (untuk diberlakukannya) ibadah, huduud, dan seluruh perkara hukum” [Fathul-Baariy, 5/277].

2.        Tumbuhnya Rambut Kemaluan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.
Madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kemaluan bukan merupakan tanda baligh secara mutlak [lihat Raddul-Muhtaar 5/97, Al-Bahrur-Raaiq 3/96, dan Syarh Fathil-Qadiir 9/276].
Madzhab Hanabilah dan satu riwayat dari Abu Yusuf dari madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak [lihat Al-Muharrar 1/347, Al-Furuu’ 4/312, Al-Inshaaf 5/320, Al-Mubdi’ 4/332, Syarhul-Muntahaa 4/560, dan Raddul-Muhtaar 5/97].
Madzhab Malikiyyah terpecah menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak, dan inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab [lihat Asy-Syarhul-Kabiir 3/293 – tercetak bersama Haasyiyyah Ad-Daasuqiy]. Pendapat kedua mengatakan bahwa ia merupakan tanda baligh yang menyangkut hak-hak anak Adam dalam beberapa hukum seperti qadzaf (menuduh wanita baik-baik telah berbuat zina), potong tangan, dan pembunuhan. Adapun yang menyangkut hak-hak kepada Allah ta’ala, maka ia bukan sebagai tanda baligh [lihat Mawaahibul-Jaliil 5/59 dengan catatan pinggirnya : At-Taaj wal-Ikliil 5/59].
Madzhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh untuk orang kafir. Adapun bagi muslimin, maka mereka berbeda pendapat. Satu pendapat mengatakan bahwa ia merupakan tanda baligh sebagaimana orang kafir, dan pendapat lain – dan ini yang shahih dalam madzhab – mengatakan bahwa ia bukan tanda baligh [lihat Mughnil-Muhtaaj 2/167, Raudlatuth-Thaalibiin 4/178, Al-Muhadzdzab 1/337-338, dan Al-Wajiiz  1/176].
Pendapat yang rajih dari keempat madzhab tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak bagi muslim atau kafir, baik menyangkut hak Allah atau hak anak Adam. Adapun dalil yang dijadikan hujjah antara lain adalah :
a)        Dari ’Athiyyah, ia berkata :
عرضنا على النبي صلى الله عليه وسلم يوم قريظة فكان من أنبت قتل ومن لم ينبت خلي سبيله فكنت ممن لم ينبت فخلي سبيلي
“Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan” [HR. At-Tirmidzi no. 1584, An-Nasa’i no. 3429, dan yang lainnya; shahih].
b)        Dari Samurah bin Jundub bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اقتلوا شيوخ المشركين واستبقوا شرخهم
”Bunuhlah orang-orang tua dari kalangan kaum musyrikiin dan biarkanlah syark”. [Abu Dawud no. 2670  dan At-Tirmidzi no. 1583; dla’if]. Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya.
Pembedaan antara orang kafir dan orang muslim adalah pembedaan yang sangat lemah. Telah shahih dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam larangan membunuh anak-anak orang kafir yang bersamaan beliau memerintahkan untuk membunuh orang-orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya – sehingga dapat dipahami bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh bagi mereka. Hukum baligh ini bersifat umum lagi mutlak. Oleh karena itu jika seorang imam menangkap dan menghukum seorang pelaku bughat dari kalangan muslimin, maka ia pun hanya boleh membunuh mereka yang telah baligh, tidak pada anak-anak. Dan tanda baligh ini dapat diketahui salah satunya dengan tumbuhnya rambut kemaluan pada mereka.
Begitu juga dengan pendapat Malikiyyah yang membedakan antara hal Allah dan hak anak Adam. Jika dikatakan bahwa syari’at telah melarang membunuh anak-anak dalam peperangan, maka ini merupakan ketentuan yang datang dari Allah yang harus dipenuhi oleh manusia (kaum muslimin). Tidak bisa dikatakan bahwa menjalankan perintah tersebut adalah sebagai pemenuhan hak anak Adam, bukan pemenuhan hak Allah.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وفي هذا بيان أن الإنبات علم على البلوغ وعلى أنه علم في حق أولاد المسلمين والكفار وعلى أنه يجوز النظر الى عورة الأجنبي للحاجة من معرفة البلوغ وغيره
”Dan dalam hal ini terdapat penjelasan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang, bagi anak-anak kaum muslimin dan orang-orang kafir; dan juga menunjukkan bolehnya melihat aurat orang lain bila diperlukan untuk mengetahui baligh dan tidaknya seseorang serta untuk yang lainnya [lihat Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim hal. 210].
3.        Mencapai Usia Tertentu.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain :
a)        Madzhab Syafi’iyyah [Mughni-Muhtaaj 2/165, Raudlatuth-Thaalibiin 4/178, dan Al-Muhadzdzab 1/337-338], Hanabilah [Al-Muharrar 1/347, Al-Furuu’ 4/312, Al-Inshaaf 5/320, Al-Mubdi’ 4/332, dan Syarhul-Muntahaa 4/560]; pendapat yang dipilih Ibnu Wahb dari madzhab Malikiyyah [As-halul-Madaarik 2/159 dan Mawaahibul-Jaliil 5/59], Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dari Hanafiyyah, serta satu riwayat dari Abu Hanifah [Al-Bahrur-Raaiq 3/96 dan Syarh Fathil-Qadiir 9/276] – yaitu lima belas tahun untuk laki-laki dan perempuan.
b)        Delapan belas tahun untuk laki-laki dan tujuh belas tahun untuk perempuan [Al-Bahrur-Raaiq 3/96 dan Syarh Fathil-Qadiir 9/276].
c)        Madzhab Malikiyyah, ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan delapan belas tahun untuk laki-laki dan perempuan [Ashalul-Madaarik 3/159], sembilan belas tahun, tujuh belas tahun, dan enam belas tahun [Mawaahibul-Jaliil 5/59 dan Haasyiyyah Ad-Dasuuqiy 3/293].
d)        Ibnu Hazm berpendapat sembilan belas tahun [Al-Muhalla, permasalahan no. 119].
Dalil yang dianggap paling shahih dan sharih oleh ulama yang memberikan batasan usia yang dibawakan dalam permasalahan ini adalah hadits yang dibawakan oleh pendapat pertama (lima belas tahun) dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, ia berkata :
عرضني رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم أحد في القتال. وأنا ابن أربع عشرة سنة. فلم يجزني. وعرضني يوم الخندق، وأنا ابن خمس عشرة سنة. فأجازني.
قال نافع: فقدمت على عمر بن عبدالعزيز، وهو يومئذ خليفة. فحدثته هذا الحديث. فقال: إن هذا لحد بين الصغير والكبير. فكتب إلى عماله أن يفرضوا لمن كان ابن خمس عشرة سنة. ومن كان دون ذلك فاجعلوه في العيال.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun.  Beliau pun memperbolehkanku”.
Naafi’ berkata : ”Aku datang kepada ’Umar bin ’Abdil-’Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu tentang hadits tersebut. Kemudia ia berkata : ’Sungguh ini adalah batasan antara kecil dan besar’. Maka ’Umar menugaskan kepada para pegawainya untuk mewajibkan bertempur kepada orang yang telah berusia lima belas tahun, sedangkan usia di bawahnya mereka tugasi untuk mengurus keluarga orang-orang yang ikut berperang” [HR. Al-Bukhari no. 2664, Muslim no. 1868, Ibnu Hibban no. 4727-4728, dan yang lainnya].
Namun, hadits ini pun tidak menunjukkan secara sharih bahwa usia lima belas tahun adalah batas usia baligh. Hadits ini masih mengandung kemungkinan bahwa pelarangan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bukan karena faktor baligh, namun karena masih kecilnya Ibnu ’Umar sehingga tidak dipandang mempunyai kemampuan/kecakapan untuk berperang. Ini terlihat dari ijtihad ’Umar bin ’Abdil-’Aziz yang hanya menandakan usia tersebut sebagai batas besar dan kecil untuk ikut berperang. Bukan baligh dan tidak baligh.
Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini adalah tidak ada batasan usia tertentu untuk baligh. Dan inilah pendapat yang dikutkan Ibnul-Qayyim rahimahullah, dimana beliau berkata :
وليس لوقت الاحتلام سن معتاد بل من الصبيان من يحتلم لاثنتي عشرة سنة ومنهم من يأتي عليه خمس عشرة وست عشرة سنة وأكثر من ذلك ولا يحتلم
”Untuk waktu ihtilaam tidak ada batas usianya, bahkan anak-anak yang berusia dua belas tahun bisa ihtilaam. Ada juga yang sampai lima belas tahun, enam belas tahun, dan seterusnya namun belum ihtilaam” [Tuhfatul-Maudud hal. 208].
Kemudian beliau melanjutkan :
وقال داود وأصحابه لا حد له بالسن إنما هو الاحتلام وهذا قول قوي
”Dawud (Adh-Dhahiriy) dan shahabat-shahabatnya berkata : ’Tidak ada batasan tertentu untuk usia baligh. Batas yang benar hanyalah ihtilam’. Ini adalah pendapat yang kuat” [idem, hal. 209].



Tanda-tanda baligh untuk perempuan antara lain :
ciri-ciri wanita yang telah mencapai aqil baligh sebagai berikut:
1.         Berusia 15 tahun perhitungan Qomariyah (kalender Hijriyah).
Dengan dalil:
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : { عُرِضْت عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يُجِزْنِي ، وَعُرِضْت عَلَيْهِ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ فَأَجَازَنِي } رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ
Artinya: Dari Ibnu Umar ia telah berkata, "Saya meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk ikut perang Uhud, sedang waktu itu usia saya 14 tahun, Rasulullah tidak mengizinkan. Dan saya pun meminta izin untuk ikut perang Khandak, usia saya saat itu 15 tahun, maka Rasulullah mengizinkan saya ikut berperang." (HR. Al jamaah).

2.         Keluar air mani. Dalilnya adalah Surat An Nur ayat 59, dan hadits Rasulullah Saw:
"Dari Ali Karamallahuwajhah, sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda: Diangkatnya pena (malaikat pencatat amal) karena tiga perkara; anak kecil hingga baligh (keluar mani), yang tidur hingga terbangun, dan yang gila hingga kembali waras." (HR. Abu Daud)

3.         Keluar darah haid. Dalilnya:
                                                   

لا يقبل الله صلاة امرأة قد حاضت إلا بخمار

Artinya: Allah Swt tidak menerima shalat seorang wanita haid, dan ia telah berkerudung. (HR. Ibnu Huzaimah dari Aisyah). Wanita haid maksudnya, wanita yang telah mencapai usia haid. Sedang berkerudung,
maksudnya wanita yang sudah berkewajiban memakai kerudung, yaitu usia baligh.

4.         Tumbuh bulu di kemaluan. Dalilnya:

وَعَنْ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { اُقْتُلُوا شُيُوخَ الْمُشْرِكِينَ ، وَاسْتَحْيُوا شَرْخَهُمْ } وَالشَّرْخُ الْغِلْمَانُ الَّذِينَ لَمْ يُنْبِتُوا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ

Artinya: Dari Samrah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: "Bunuhlah oleh kalian orang musyrik dewasa, dan biarkan hidup diantara mereka syarkhu." (HR. At Tirmidzi) Syarkhu adalah anak yang belum tumbuh bulu di kemaluannya.
       5.Wanita Hamil, karena wanita hamil sebagai tanda ia telah keluar mani, maka ia telah dikatakan baligh.
Dengan demikian jika salah satu diantara lima ciri diatas ada, maka wanita tersebut telah dikatakan baligh.


Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot