Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Selasa, 09 Februari 2016

MAKALAH STRUKTUR HUKUM DI INDONESIA DAN PENGEMBANGANNYA

Februari 09, 2016 0



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Struktur Hukum di Indonesia
1.    Konstitusi (UUD 1945)

Undang-Undang Dasar atau Konstitusi Negara Republik Indonesia disahkan dan ditetapkan oleh Pantia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada hari sabtu tanggal 18 Agustus 1945, yakni sehari setelah proklamasi kemerdekaan.

Pada saat di sahkan dan ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, ia hanya bernama” OENDANG-OENDANG DASAR”. Baru kemudian dalam Dekrit Presiden 1959 memakai UUD 1945 sebagaimana yang di undangkan dalam Lembaran Negara No.75 Tahun 1959. [1]
Kronologis dua kali pemberlakuan UUD 1945, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan bahwa pernah berlaku tiga macam Undang-Undang Dasar (Konstitusi) :
a.       Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
b.      Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, yang berlaku antara 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
c.       Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
d.      Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku sejak dikeluarkan  Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang. [2]
Belum berumur setahun kemerdekaan Indonesia, Belanda datang kembali ke Indonesia untuk melanjutkan kolonialismenya. Belanda secara sepihak menduduki beberapa tempat, terutama kota-kota di Indonesia, dan mendirikan kembali pemerintahan Belanda. Beberapa bagian Negara Indonesia didikrikan menjadi Negara oleh Belanda dalam rangka rekayasa memusnahkan Republik Indonesia untuk dig anti dengan Republik Indonesia Serikat, yaitu Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Pasundan (1948), Neagar Madura (1948) dan beberapa bagian lain yang ketika itu masih dalam tahap persiapan.
Peperangan yang dikenal sebagai Revolusi kemerdekaan itu berhasil menarik perhatian PBB yang kemudian mengusulkan diselenggarakannya konferensi antara Indonesia dan Belanda dengan menyertakan Byeenkomst voor Federal Overleg (BFO). Yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar berlangsung tanggal 2 November 1949. Rancangan UUD hasil kerja delegasi Indonesia dan BFO itu diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan disepakati  mulai berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949.
Konstitusi RIS yang diberlakukan bersamaan dengan pembubaran Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Dari sudut konstitusi dapat dikualifikasikan bahwa konfigurasi yang dianut pada zaman RIS adalah demokratis. [3]
Bentuk Negara serikat ternyata tidak berumur panjang karena bentuk tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia. Satu persatu Negara bagian yang bernaung dibawah RIS menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Sehingga pada bulan Mei 1950 jumlah Negara bagian tinggal tiga; yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Rakyat menganggap revolusi Indonesia belum sempurna sebelum terbentuk Negara kesatuan sesuai UUD 1945.
Piagam persetujuan antara Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia di tandatangani oleh Hatta dan A.Halim pada tanggal 19 Mei 1950. Piagam tersebut memuat persetujuan untuk kembali kebentuk “Negara kesatuan”. Untuk itu perlu disepakati perubahan-perubahan terhadap konnstitusi RIS. Untuk menindak lanjuti persetujuan itu dibentuk panitia yang bertugas untuk membuat rancangan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Panitia ini menghasilkan rancangan UUDS untuk di berlakukan dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1950 UUDS dinyatakan berlaku sejak 17 Agustus 1950. UUDS 1950 menganut system parlementer dan dianggap bahwa sejak pemberlakuannya pada tanggal 17 Agustus 1950 dimulailah era demokrasi liberal di Indonesia sesuai dengan system parlementer yang sebenarnya.

2.    Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU)
PERPU adalah peraturan yang dibentuk oleh presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, oleh karena itu proses pembentukannya agak berbeda dengan Undang-Undang. Apabila melihat ketentuan Pasal 22 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya, dapat diketahui bahwa PERPU mempunyai hierarki, fungsi dan materi muatan yang sama dengan Undang-Undang, hanya didalam pembentukannya berbeda dengan Undang-Undang.
Selama ini undang-undang selalu di bentuk oleh Presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat, dan dalam keadaan normal, atau menurut perubahan UUD 1945 dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan PERPU dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat karena adanya suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa.[4]
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
1.    Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR.
2.    Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
3.    DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
4.    Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Contoh : bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; diganti dengan : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Contoh: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Untuk membedakan antara undang-undang dengan perpu dengan istilah tindakan kenegaraan versustindakan pemerintahan tidaklah tepat, meskipun dapat memudahkan pengertian mengenai hal itu. Pertimbangan yang lebih sederhana dan lebih tepat untuk digunakan ialah bahwa perpu itu menyangkut tindakan pemerintahan untuk mengatur yang berkaitan dengan alas an “innere notstand”menurut kebutuhan keadaan yang mendesak dari segi subtansinya dan genting dari segi waktunya. Jika kedua pertimbangan ini terpenuhi, maka untuk kegentingan pemerintahan, presiden berwenang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang untuk menjamin agar tindakan pemerintahan dimaksud dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya tanpa harus lebih dahulu menunggu ditetapkannya undang-undang. [5]
Ketentuan UUD 1945 tersebut sebenarnya memberikan suatu kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden, oleh karena PERPU yang ditetapkan sendiri oleh presiden mempunyai derajat/kekuatan berlaku yang sama dengan suatu Undang-undang. Dengan demikian, presiden dengan jalan mengeluarkan PERPU yang dibuat sendiri dapat merubah atau menarik kembali suatu Uundang-Undang biasa yang di tetapkan Presiden bersama dengan DPR. Tentu saja hal itu telah dikemukakan dalam penjelasan UUD 1945, kekuasaan Presiden tersebut memerlukan sutu pengawasan dari DPR supaya tidak di slah gunakan.[6]
3.    Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden
Disamping kekuasaan membentuk PERPU, UUD 1945 memberikan lagi kekuasaan kepada presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (pasal 5 ayat  2 UUD 1945).
Peraturan pemerintah adalah suatuperaturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang.peraturan pemerintah dibuat semata-mata oleh pemerintah tanpa kerja sama dengan DPR. Peraturan Pemerintah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-Undang. Selain peraturan pemerintah yang di tetapkan oleh Presiden, Presiden juga berhak mengeluarkan Keputusan Presiden yang berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig = berlaku atau mengatur sesuatu hal tertentu saja) untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan, Ketetapan MPR (S) dalam bidang eksekutip atau peraturan pemerintah. Adapun peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya (baik yang diadakan oleh pejabat sipil maupun oleh pejabat militer) seperti Keputusan Menteri, Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata dan lain-lain, harus pula dengan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan perundangan yang lebih tinggi. [7]
4.    Peraturan Daerah
Peraturan Daerah (Perda) adalah bentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan Perpu, peraturan daerah dan peraturan Presiden, akan tetapi dari segi isinya dan mekanisme pembentukannya, Perda itu mirip dengan Undang-Undang. Pertama, seperti undang-undang maka organ Negara yang terlibat dalam proses pembentukan Perda itu adalah lembaga legislatif dan lembaga eksekutif secara bersama-sama. Jika undang-undang dibentuk oleh lembaga legislatif pusat dengan persetujuan bersama dengan Presiden selaku kepala pemerintahan eksekutif, maka Perda di bentuk oleh lembaga legislative daerah bersama-sama dengan kepala pemerintahan setempat. Dengan perkataan lain, sama dengan Undang-Undang, Perda juga merupakan produk legislatif yang melibatkan peran para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang berdaulat.
Perbedaan antara Undang-Undang dengan Perda ituhanya dari segi lingkup territorial saja atau wilayah berlakunya peraturan yang bersifat nasional atau lokal. Undang-Undang berlaku secara nasional, sedangkan peraturan daerah hanya berlaku di dalam wilayah pemerintahan daerah yang bersangkutan saja, yaitu dalam wilayah daerah provinsi, wilayah daerah kabupaten, atau wilayah daerah kota yang bersangkutan masing-masing.
Menurut ketentuan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, agar berlaku mengikat untuk umum, rancangan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama antar legislatif dan eksekutif di daerah yang bersangkutan, harus diajukan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dinilai sebagaimana mestinya. Melalui mekanisme demikian, produksi peraturan daerah oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia akan dapat bterkontrol dengan baik, sehingga pemerintah pusat dapat bertindak apabila timbul keadaan yang tidak menguntungkan kepentingan nasional ataupun kepentingan antar daerah yang terkait sebagi akibat terbitnya berbagai peraturan daerah yang tidak saling menunjang upaya pembangunan daerah dan pembangunan nasional secara keseluruhan.  

B.   Perkembangan Hukum di Indonesia
Perkembangan hukum di Indonesia saat ini cukup terasa, seiring  pertumbuhan penduduk dan perkembangan social kemasyarakatan. Berbagai macam penyakit masyarakat yang menuntut dan mengharuskan hukum bergerak maju sebagai pengendali social untuk menjadi garda terdepan dalam menciptakan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera.  Perkembangan hukum itu sendiri ditandai dengan perkembangan komponen hukum itu sendiri, dari segi Perangkat Hukum, yakni lahirnya berbagai macam produk hukum baru dan bersifat khusus (lex spesialis), misalnya : Undang-undang no 31 tahun 1999 sebagai mana telah di ubah menjadi Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana korupsi. Dari segi Kelembagaan Hukum yakni lahirnya Lembaga penegakkan Hukum yang Independen dan punya kewenangan khusus misalnya Komisi Pemberantasan korupsi, serta Aparatur Hukum dan Budaya Hukum.
Perkembangan hukum di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Reaksi ini tidak terlepas dari berbagai faktor baik dari dalam lembaga penegak hukum itu sendiri maupun pengaruh dari luar. Ketidak profesionalisme para aparat penegak hukum itu sendiri yang menciderai wibawa hukum di Indonesia, baik sifat Arogansi sampai keterlibatan penegak hukum dalam kasus hukum yang sedang di tanganinya. Perilaku aparat penegak hukum yang demikian seyogianya wajib dilenyapkan dari NKRI yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Hukum positif yang berlaku di Indonesia terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Yang termasuk hukum positif tertulis adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat, ditetapkan, atau dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang menurut atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu dalam bentuk tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang berlaku atau mengikat. Dan yang termasuk hukum tidak tertulis adalah hukum asli bangsa Indonesia yang hidup dan berlaku secara turun temurun atau diakui atau dinyatakan sebagai hukum yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau putusan hakim. Hukum adat mungkin didapati atau diketahui dalam atau melalui tulisan (dituliskan). Walaupun demikian, hukum adat adalah hukum tidak tertulis, karena tidak pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh pejabat yang berwenang melalui tata cara tertentu. Hukum adat menjadi hukum positif atas dasar kenyataan sebagai hukum yang hidup dan ditaati, pengakuan, dibiarkan berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan. Lingkup hukum adat sebagai hukum positif makin terbatas akibat kehadiran hukum positif tertulis atau karena yurisprudensi.
Hukum keagamaan sebagai hukum positif, adalah hukum dari agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan suatu kebijakan Pemerintah yang mengakui semua sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang oleh pengikutnya dipandang sebagai agama. Pada saat ini, didapati berbagai hukum keagamaan yang dinyatakan melalui undang-undang sebagai hukum positif. Berdasarkan W No. 1 Tahun 1974, ketentuan-ketentuan semua agama mengenai perkawinan dinyatakan sebagai hukum positif. Khusus bagi yang beragama Islam, pengakuan hukum perkawinan Islam telah ada sejak masa Hindia Belanda dengan dipertahankannya peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa nikah, talak, dan rujuk (seperti Mahkamah Syariah di Jawa dan Qadi Besar di Kalimantan) berdasarkan hukum Islam. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 - bagi pemeluk agama Islam-ketentuanhukum positif berdasarkan syariah (hukum Islam) diperluas ke bidang-bidang lain seperti wakaf, pemeliharaan anak, pewarisan, hubungan nasab dalam pengangkatan anak. Memasukkan hukum agama menjadi hukum positif terjadi juga melalui putusan hakim. Di lingkungan peradilan agama, telah diadakan pedoman penerapan hukum agama bagi mereka yang beragama Islam seperti "kompilasi Hukum Islam" yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden No, l Tahun 1991 jo Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991. Hal yang sama dapat juga dilakukan atau terjadi pada lingkungan peradilan lain, khususnya peradilan umum. Hakim dapat menggunakan asas atau ketentuan agama apabila penerapan suatu peraturan perundang-undangan sungguh-sungguh melukai rasa kepatutan, atau rasa keadilan, atau pandangan kesusilaan menurut dasar keagamaan pencari keadilan.








BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut merupakan  kehendak rakyat tertinggi yang dijadikan hukum dasar  dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia. Pilar utama dalam mewujudkan prinsip negara hukum adalah pembentukan peraturan perundang-undangan dan penataan kelembagaan negara.
Struktur peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah sebagi berikut:
1.    Konstitusi (UUD 1945)
2.    Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
3.    Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden
4.    Peraturan Daerah (Perda)

Perkembangan hukum di Indonesia saat ini cukup terasa, seiring  pertumbuhan penduduk dan perkembangan social kemasyarakatan. Berbagai macam penyakit masyarakat yang menuntut dan mengharuskan hukum bergerak maju sebagai pengendali social untuk menjadi garda terdepan dalam menciptakan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera.  Perkembangan hukum itu sendiri ditandai dengan perkembangan komponen hukum itu sendiri, dari segi Perangkat Hukum, yakni lahirnya berbagai macam produk hukum baru dan bersifat khusus (lex spesialis), misalnya : Undang-undang no 31 tahun 1999 sebagai mana telah di ubah menjadi Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana korupsi. Dari segi Kelembagaan Hukum yakni lahirnya Lembaga penegakkan Hukum yang Independen dan punya kewenangan khusus misalnya Komisi Pemberantasan korupsi, serta Aparatur Hukum dan Budaya Hukum.

B.   Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang konstruktif demi perbaikan makalah ini sehingga dapat lebih disempurnakan dengan lebih baik lagi. Terima kasih.
Daftar Pustaka

Dahlan Thaib,dkk, Teori Dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999
Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,2009

Maria Farida Indrati s, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 2006

Jimly Asshiddiqie, Perihal Perundang-Undangan,Konstitusi Press, Jakarta,2006.

C.S.T.Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986






[1] Dahlan Thaib,dkk, Teori Dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm.84.
[2] ibid, hlm.86.
[3] Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,2009, hlm.46-48.
[4] Maria Farida Indrati s, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 2006, hlm.80.
[5] Jimly Asshiddiqie, Perihal Perundang-Undangan,Konstitusi Press, Jakarta,2006.hlm.85-86
[6] C.S.T.Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.hlm.57
[7] Ibid, hlm.58.
Read More

Senin, 08 Februari 2016

MAKALAH PENGERTIAN SYIRKAH DAN RUKUN BESERTA SYARAT SYIRKAH

Februari 08, 2016 0


BAB II
PEMBAHASAN


A.   
Pengkertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’ilmudhâri’),syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibacasyirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).

B.     Hukum syirkah
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
C.     Rukun Syirkah dan Syarat dan Bentuk Akad Al-syirkah
Rukun syarat syirkah menurut mazhab Hanafi adalah ijab dan qabul sedangkan jumhur ulama selain Hanafi menyatakan sighat akad, mahal aqad dan para pihak (lebih banyak). Menurut Wahbah Zuhayli, secara umum ketentuan aqad berlaku dalam akad syirkah, tetapi terdapat beberapa perbedaan seperti ungkapan ijab dan qabul dilakukan oleh pihak yang menjadi wakil kepada para pihak yang saling bersyirkah. Sedangkan lainnya adalah para pihak harus bertemu dalam majlis akad karena akad syirkah melibatkan banyak pihak. Berkenaan dengan mahal akad maka disyaratkan sebagai berikut: pembagian untung yang jelas, modal harus tunai, modal berbentuk uang.
D.    Macam-Macam/pembagian Syirkah dan menurut pandangan mazhab.
Terdapat beberapa bentuk akad syirkah, akan tetapi hanya satu yang disepakati oleh para ulama yang lainnya berbeda, yaitu syirkah inan.
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai kadhukum syirkahdan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam yaitu:
1.      Syirkah inan
2.      Syirkah abdan
3.       Syirkah mudharabah
4.      Syirkah wujuh dan
5.      Syirkah mufawadhah
 An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: 
1.      Syirkah inan
2.      Syirkah abdan
3.      Syirkah mudharabah, dan 
4.      Syirkah wujuh.
Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: 
1.      Syirkah inan.
2.      Syirkah abdan, dan 
3.      Syirkah mudharabah.
Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah yaitu;
1.      Syirkah inan dan
2.      Syirkah mudharabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu).
Pengertian macam-macam syirkah:
a.       Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inan: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal.
b.      Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) ini disebut juga syirkah ‘amal.  Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
c.       Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mal) Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh Contoh: A sebagai pemodal (shahib al-mal/rabb al-mal) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
d.      Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam . Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.Syirkah semacam ini hakikatnya termasukdalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya .
e.       Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.






DAFTAR PUSTAKA

1. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
2. Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.
3. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.
4. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
5. —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.
6. Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.
7. Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
8. Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.




Read More

MAKALAH PENGERTIAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Februari 08, 2016 1




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kekerasan

Kekerasan merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini

B.     Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
C.     Kekerasan dalam Rumah Tangga ditinjau dari Perspektif Sosiologi Hukum
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi wanita sebagai korban. World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai “Kekerasan dan Kesehatan” di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40 hingga 70 persen perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. Laporan Khusus dari PBB mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan telah mendefinisikan KDRT dalam bingkai jender sebagai ”kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan target utama terhadap perempuan dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memberikan akibat langsung dan negatif pada perempuan dalam lingkup rumah tangga.” 
Signifikansi menggunakan jender sebagai basis analisa dalam permasalahan ini yaitu untuk mendorong terjadinya perubahan paradigma terhadap KDRT dengan obeservasi sebagai berikut, “Daripada menanyakan kenapa pihak pria memukul, terdapat tendensi untuk bertanya kenapa pihak perempuan berdiam diri”  Analisa jender mendorong kita tidak hanya menanyakan mengapa pria melakukan kekerasan, tetapi juga menanyakan kenapa kekerasan terhadap perempuan terjadi dan diterima oleh banyak masyarakat. Merestrukturisasi pertanyaan tesebut merupakan hal penting dalam melakukan pembaharuan hukum, khususnya dari perspektif keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif jender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya terhadap perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung setiap saat, fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu tanggung jawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab baik itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-norma sosial atau mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.

Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai isu pribadi telah membatasi luasnya solusi hukum untuk secara aktif mengatasi masalah tersebut. Di sebagian besar masyarakat, KDRT belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan. Bagaimanapun juga, sebagai suatu hasil advokasi kaum feminis dalam lingkup HAM internasional, tanggung jawab sosial terhadap KDRT secara bertahap telah diakui sebagian besar negara di dunia.
Kekerasan dalam rumah tangga seringkali menggunakan paksaan yang kasar untuk menciptakan hubungan kekuasaan di dalam keluarga, di mana perempuan diajarkan dan dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya sendiri. KDRT seakan-akan menunjukkan bahwa perempuan lebih baik hidup di bawah belas kasih pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah, menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya karena mereka merasa tidak mampu untuk mengatasi seorang perempuan yang dapat berpikir dan bertindak sebagai manusia yang bebas dengan pemikiran dirinya sendiri. Sebagaimana pemerkosaan, pemukulan terhadap istri menjadi hal umum dan menjadi suatu keadaan yang serba sulit bagi perempuan di setiap bangsa, kasta, kelas, agama maupun wilayah.
Pada tingkat internasional, kekerasan terhadap perempuan telah dilihat sebagai suatu bingkai kejahatan terhadap hak dan kebebasan dasar perempuan serta perusakan dan pencabutan kebebasan mereka terhadap hak-hak yang melekat pada dirinya. Hal ini menjadi sebuah tantangan dalam pencapaian persamaan hak, pengembangan dan kedamaian yang diakui dalam Nairobi Forward-looking Strategis for the Advancement of Women, yang merekomendasikan satu perangkat tindakan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan. Rekomendasi tersebut dibebankan kepada Pemerintah sebagai kewajiban hukum dan moral untuk menghilangkan KDRT melalui kombinasi berbagai langkah serius.

KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut meliputi, Universal Declaration of Human Rights (“UDHR”), the International Covenant on Civil and Political Rights(“ICCPR”), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights(“ICESCR”) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing. 
Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Perlu di ketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( PKDRT ) yang terdapat di dalam undang-undang No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama Perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, Seksual, Psikilogis, atau Penelantaran Rumah Tangga, Yang menpunyai ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan Hukum dalam lingkungan rumah tangga” ( Pasal 1 ayat 1 ).
Dalam Pasal 5 UU No 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup suatu Rumah Tangga melakukan kekerasan seperti :
1.      Kekerasan Fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
2.      Kekerasan Psikis yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemammpuan untuk bertindak,rasa tidak berdaya dan lain-lain.
3.      Kekerasan Seksual yang berupa pemaksaan seksual dengan cara yang tidak wajar baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersil atau tujuan tertentu.
4.      Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut Hukum di wajibkan atasnya untuk memberikan kehidupan yang layak atas rumah tangga nya sendiri.
Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat di tuntut ke pada pelakunya antara lain:
a.                     Perlindungan dari pihak keluarga, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokad,Lembaga sosial atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan.
b.                     Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
c.                      Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasian Korban.
d.                     Pendampingan oleh pekerja sosial atau lembaga bantuan hukum.
e.                     Pelayanan bimbingan Rohani.
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.

Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini.
Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.
Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

D.    Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
Faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan kerap terjadi dalam rumah tangga selama ini adalah dikarenakan kuatnya dorongan maskulinitas tradisional, yang mengakibatkan kebanyakan pria terjerat dalam konstruksi sosial masyarakat yang patriarki. Pria yang terjerat dalam konstruksi sosial patriarki ini kerap tidak kuat menanggung rasa malu atas kegagalannya, menanggung beban sosial yang dirasakan berat. Dalam konstruksi masyarakat patriarki, beban sosial pria adalah harus tampil kuat, jantan, mampu secara ekonomi dan bentuk-bentuk maskulinitas tradisional lainnya. Tidak heran bila kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terus saja terjadi, pelakunya kebanyakan pria, yang dominan dalam hubungan rumah tangga. Sementara dari pihak perempuan yang kebanyakan menjadi korban biasanya enggan melaporkan tindakan ini atau menutup rapat kasus yang dialaminya. Dengan demikian untuk mencegah kasus KDRT semakin meningkat, diperlukan keseimbangan peran kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan. Jika semua ini berjalan baik maka kekerasan dan beban konstruksi sosial bisa ditanggung bersama, dan pada akhirnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga bisa diminimalkan.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Isu  Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam pandangan sosiologi hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation(Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
2.        Dengan diundangkannya UU PKDRT, yaitu bahwa instrumen hukum yang melarang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, akan dapat efektif untuk  penghapuskan, atau setidaknya mengurangi, terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, jika didukung dengan budaya hukum masyarakat yang menempatkan perempuan pada relasi kekuasaan yang setara dengan laki-laki.
3.      Adanya perlindungan Hukum pada masyarakat terhadap kekerasan dalam Rumah Tangga.
4.      Terbentuknya jalinan baik dari masyarakat terhadap Pemerintah.
5.       Undang-undang yang berkenaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ) memerlukan waktu baik bagi Pemerintah untuk mensosialisasikan undang-undan tersebut maupun bagi masyarakat. apa lagi Suami dalam Pimpinan Rumah Tangga merasa berkuasa terhadap keluarganya dan dari kaum wanita merasa ada pembatasan norma agama yang harus di jalanin untuk berhadapan dengan suami sebagai kepala rumah tangga nya sendiri. Pada hal dalam rumah tangga tersebut ada Hak dan Kewajiban masing-masing yang di atur oleh Agama. Dari berbagai hasil penelitian maupun laporan kasus dari lembaga-lembaga yang perduli terhadap perempuan menunjukan korban kekerasan dalam rumah tangga yang terus meningkat ini. Secara yuridis kesadaran dari semua pihat baik secara nasional maupun internasional suudah harus di realisasikan melalui sarana hukum.

B.     Saran
C.      
DAFTAR PUSTAKA


Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.

Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot